Embrace the unique way your child is blooming. Even if it's not in the garden you imagined. Anonymous
Setiap tahun, konon katanya kasus alergi pada anak terus meningkat. Berdasarkan hasil survey dengan kuisioner ISAAC pada anak sekolah dasar usis 6-7 tahun di Semarang, didapatkan jumlah kasus alergi berturut-turut meliputi asma sebanyak 8,1%, rinitis alergi sebanyak 11,5% dan eksim sebanyak 8,2%,
ISAAC sendiri adala program
penelitian epidemologi didirikan pada tahun 1991 untuk menyelidiki asma, rhinitis,
dan dermatitis atopik pada anak-anak dengan membentuk sebuah metodologi standar
dan memfasilitasi kerjasama internasional yang diikuti 156 senter dari 56
negara yang berpartisipasi.
Sebenarnya, apa itu alergi?
Secara sederhana, alergi bisa
dikatakan sebagai respon tubuh yang berlebihan ketika terdeteksi ada “benda
asing” yang masuk ke dalam tubuh. Sistem kekebalan tubuh menganggap benda asing
tersebut berbahaya, padahal tidak.
Kenapa anak bisa menjadi alergi?
Menurut DR. Dr. Zakiudin Munasir,
Sp.A(K) selaku Konsultan Alergi Imunologi Anak, “Penyakit alergi seperti asma,
rinitis alergi, alergi makanan, dermatitis atopik serta alergi protein susu
sapi merupakan kasus alergi yang paling banyak diderita.
Faktor risiko berkembangnya
alergi dapat berasal dari faktor genetik yakni keluarga dengan riwayat positif
alergi”. Jika kedua orang tua tidak memiliki alergi maka risiko alergi yang
diturunkan, hanya sebesar 5% sampai 15%. Jika dalam keluarga memiliki satu
saudara kandung yang positif alergi, maka risiko alergi yang diturunkan sekitar
25% sampai 30%.
Sementara itu, jika salah satu
orang tua memiliki alergi maka risiko alergi yang diturunkan sebesar 20% sampai
40% dan jika kedua orang tua memiliki riwayat alergi maka risiko alergi yang
diturunkan sebesar 40% sampai 60%. Akan tetapi, risiko tersebut meningkat hingga
80% bila kedua orangtua menderita gejala alergi yang sama.
Kasus alergi pada anak yang
sering terjadi adalah alergi protein susu sapi yang umumnya terjadi pada anak
yang tidak mendapatkan Air Susu Ibu. Oleh karena itu, alergi protein susu sapi
dapat diatasi dengan cara memberikan ASI eksklusif bagi anak.
Kifah si Anak Alergi
Bicara soal alergi, saya hampir
khatam mendengar istilah ini sejak Kifah berusia 1 minggu setelah dilahirkan.
Ya, Kifah adalah salah satu anak
yang menurunkan bakat alergi entah dari siapa. Karena saya dan suami merasa
tidak memiliki masalah mengenai alergi sejak kecil hingga saat ini.
Menurut beberapa sumber tulisan
yang saya baca di internet, resiko alergi pada anak memang semakin meningkat.
Alergi makanan dan dermatitis atopik (semacam gatal atau kemerahan pada kulit
yang meradang) umum terjadi pada anak usia dini, dan beresiko terjadinya asma
dan rinitis di kemudian hari.
Ya, benar sekali.
Teori tersebut benar-benar
terjadi pada Kifah, anak sulung saya.
Kifah Bayi dan Dermatitis Atopik
Awalnya saya gak ngeh, kenapa
Kifah bisa ruam merah di beberapa bagian tubuh. Paling parah terjadi di pipi,
siku, dan kepala. Karena pada mulanya, di pipi kanan Kifah terdapat bintik
merah kecil seperti di gigit nyamuk.
Dan karena memang seperti di gigit
nyamuk, waktu itu saya hanya oleskan minyak telon ke “titik merah” yang ada di
pipi Kifah. Tapi makin lama, ternyata titik merah itu semakin banyak.
Sepanjang malam Kifah rewel, dan
sebagai orang tua newbie, saya gak tau kenapa Kifah sampai serewel itu. Dan
kemudian saya baru menyadari, mungkin ada sensasi “gatal dan tidak nyaman” di
ruam merah yang muncul di pipi kanan dan kiri Kifah, serta di kedua siku
tangannya.
Ke Dokter
Karena ruam merah yang terus
menyebar, akhirnya Kifah di bawa ke dokter anak. Dan disitulah saya diberi
penjelasan bahwa Kifah alergi protein susu sapi.
Ya. Memang, sesaat setelah
dilahirkan, ASI belum keluar banyak, dan Kifah terpaksa minum susu formula yang
diberikan oleh tenaga kesehatan tempat saya melakukan persalinan.
Dan, susu formula itu lah awal
mula kenapa Kifah bisa alergi.
“Anaknya alergi protein sapi, Bu.
Jadi, kasih aja susu berbahan dasar kedelai kalau mau.”
Waktu itu sebenarnya saya tidak
berpikir untuk menggunakan susu formula, hanya sebatas ketika ASI belum keluar
saja. Setelah satu minggu berlalu, hingga dua tahun, Kifah hanya minum ASI.
Sebetulnya saya sempet horor
sendiri ketika melihat kondisi Kifah. Apalagi suka ada yang mengkaitkan dengan
mitos aneh seputar hamil dan menyusui.
“Dulu ngidam apa? Ada yang gak
terlaksana kali. Biasanya kalau mamahnya makan makanan yang bikin ngidam dulu,
nanti merahnya hilang sendiri.”
“Ini pipinya kenapa merah? Kena
ASI ya? ASInya tajem kali. Makanya kalau habis nyusuin langsung lap pakai kain
pipninya. ASI itu gak boleh kena pipi bayi.”
Atulah, Please!
-_____-
Baca juga: Mitos Pasca Melahirkan
“Rempongnya” Punya anak alergi.
Saya sempat berkali-kali sampai
dititik marah, mengeluh, kesal, kenapa Kifah bisa alergi protein sapi dan
mengalami dermatitis atopik/ruam merah parah.
Baca juga: Cara Mengatasi Ruam Popok pada Bayi
Pipi bayi yang lagi gemuk
lucu-lucunya itu harus ditutupi oleh ruam merah yang cukup menggangu.
Selain ruam merah yang mengganggu
itu, satu hal yang suka bikin saya “depresi” adalah soal makanan dan minuman.
Setiap makan makanan produk susu dan turunannya, seperti keju, biskuit susu,
dll. Badan Kifah langsung mengeluarkan ruam merah dan bikin Kifah luar biasa
rewelnya.
Ya, punya anak alergi memang
bikin hayati lelah, Bang. Hehehe. Apalagi namanya manusia biasa, kadang gak
sabaran dan out of control ketika masalah demi masalah datang menghampiri,
apalagi waktu itu saya sebagai mamah newbie
yang penuh tantangan dan ujian di sana sini.
Setelah tahu bahwa Kifah alergi dan menghindari alergennya yaitu protein sapi, baru deh makin lama alergiya makin menghilang, walau kadang suka muncul lagi. Hiks. |
Dari Dermatitis Atopik ke Asma.
Seperti artikel yang saya baca
itu, Dermatitis Atopik Kifah sembuh di usia sekitar 2 tahunan, kemudian
munculah Asma.
*Hayati lelah lagi*
Ibarat kata, mati satu, kok jadi
tumbuh lagi yang baru. Dermatitis Atopik sembuh, kenapa malah beralih ke Asma?
Awalnya, saya gak tahu kalau
Kifah Asma. Tapi yang jelas, setiap batuk itu lama sembuhnya. Batuknya juga
terus-terusan, dan lama-lama Kifah bernafas menggunakan mulut, dan cuping
hidungnya terlihat kembang kempis.
Baca juga: Batuk Anak yang Tak Kunjung Sembuh
Asma atau sesak nafas Kifah itu biasanya kambuh ketika:
1. Makan
makanan yang salah atau jajan sembarangan.
2. Terlalu
lelah atau capek bermain.
3. Kena
cuaca yang terlalu dingin.
Jadi, memang ketika Kifah terlalu
aktif bermain, salah makan, atau sedang mudik ke Bandung Utara yang cuacanya
almost 22-28 derajat setiap harinya, membuat saya hampir “kewalahan” untuk
merawat Kifah.
Karena apa? Karena semuanya seakan
berbanding terbalik. Kifah yang super aktif bergerak, mendapat ujian penyakit
Asma karena alergi. Rasanya tuh mangkel, kesel, dongkol banget. Karena setiap
dia kelelahan, ujung-ujungnya Kifah sesak nafas.
Bahkan, saking seringnya Asmanya
kambuh dan harus berobat ke dokter, saya dan Abbiy sepakat membeli alat
uap/nebulizer sendiri untuk keadaan emergensi di rumah ketika Kifah sesak nafas
di rumah.
Khawatir akan masa depannya. Bisakah anak alergi tetap berprestasi?
Sebagai ibu pada umumnya,
tentunya saya berpikir jauh ke depan. Bagaimana pendidikan anak-anak kelak,
bagaimana karakternya, bagaimana kesehatannya, apakah mereka bisa meraih mimpi
dan cita-cita mereka? Apalagi dengan special case ini, Kifah si anak alergi.
Apakah dengan “keterbatasan” yang ia miliki, ia akan tetap bisa mendaki gunung
dengan teman-temannya, ikut bela diri, ikut kemping dengan gerakan pramuka di
sekolah, atau sekedar ikut jalan sehat
keliling komplek?
Baca juga: Underestimate
Baca juga: Underestimate
Apakah kelak dia bisa menaklukan segala
tantangan dan meraih cita-citanya kelak? Dan lucunya, Kifah bercita-cita ingin
menjadi dokter kulit kalau gede. Dia merasakan, alergi yang ia alami
mempengaruhi keadaan kulitnya yang sering ruam dan gatal. Hehehe.
Waspada gejala alergi. Deteksi dini lebih baik.
Lega rasanya, ketika ada kampanye
yang mengatakan bahwa “Anak Alergi Tetap Bisa Berpestasi” rasanya seperti
sebuah angin segar bahwa anak yang memiliki “keterbatasan” tetap bisa tumbuh
dengan optimal dan berprestasi dikemudian hari.
Saya menulis ini agar pembaca
blog saya yang budiman, dimanapun berada, apalagi yang sedang hamil dan akan
melahirkan, tidak melakukan kesalahan yang saya lakukan di masa lalu. Karena
memiliki anak berisiko alergi sungguh sebuah tantangan tersendiri.
1. Jika
ada riwayat alergi pada keluarga, sebisa mungkin jauhkan alergen seperti
protein sapi/susu sapi dan produk turunannya seperti keju, kacang, dll dari
anak-anak.
2. Apabila
muncul ruam pada tubuh bayi, segeralah periksa ke dokter. Walaupun itu hanya
untuk memastikan apakah ruam tersebut adalah alergi atau bukan. Karena kadang,
ruam merah di tubuh bayi yang baru lahir, banyak dikaitkan dengan beberapa
mitos.
3. Beri
asupan gizi anak yang tidak mengandung alergen. Kita bisa menggunakan susu
kedelai/susu soya atau susu asam amino sebagai alternatif untuk memenuhi
kebutuhan gizi anak setiap hari.
Itu tadi pengalaman dan infromasi
yang bisa saya berikan ya, semoga bermanfaat untuk kita semua. Sebelum close tab, boleh dong nonton video yang
satu ini.
Bungsuku juga alergi susu sapi Mbak, tapi pas usia 3 bulanan sembuh sendiri...
ReplyDeleteKalau kifah sampai setahun lebih baru sembuh Mbak :)
DeleteMemang umuran segitu rentan alergi, klau diatasi dgan baik jadi hilang lama kelamaan
ReplyDeleteWah alerginya parah juga dulu. Susah pastinya kalau produk turunan susu sapi juga bikin alergi.
ReplyDelete