Semenjak adanya pemberitaan tentang anak kecil yang diculik di Depok,
kemudian ditemukan dalam kondisi meninggal dunia di daerah Lubang Buaya, jujur
saja saya jadi was-was.
Was-was kenapa?
Was-was kalau anak sendiri yang jadi korban. Naudzubillah.
Anak yang berinisial J itu diculik seusai sekolah di sebuah
sekolah dasar di Depok. Menurut berita, ia dibawa oleh orang yang ia kenal dan belakangan ditetapkan
sebagai tersangka oleh polisi.
Motif Menculik
Kalau kita sering nonton sinetron, dari zaman dulu sampai
sekarang, Pak Raam Punjabi pasti membuat tokoh anak yang diculik adalah anak
orang kaya kelas berat.
Rumahnya mentereng, mobil berjejer, ayah kaya dan ganteng,
paling-paling anak itu punya ibu tiri yang jahat.
Jadi, ketika ada motif penculikan, pasti ujung-ujungnya untuk
minta tebusan. Kalau tidak anaknya diancam dibunuh oleh penculik.
Ya pasti hampir semua orang pernah nonton film yang sempet
booming banget ini. Di film Petualangan Sherina, salah satu konflik yang
diangkat juga tentang penculikan.
Yaitu penculikan Sadam oleh komplotan Kertarajasa.
Ujung-ujungnya Kertarajasa minta uang tebusan 3 Milyar kepada
Pak Ardiwilaga (Ayah Sadam). Walaupun motif utamanya bukan uang, tetapi agar pak
Ardiwilaga menjual perkebunan kepada Natasya (yang masih komplotan Kertarajasa)
dan nantinya perkebunan tersebut akan diubah menjadi real estate oleh mereka.
Tapi tetep lah ya, motifnya masih sekitar materi dan intrik
bisnis.
Kembali ke kasus penculikan bocah J di Depok. Konon katanya,
motif penculikan bukanlah tentang materi atau uang, tetapi ada hal lain.
Menurut polisi, dugaan sementara mereka adalah pelaku mengidap pedopilia yang
memang mencari korban anak-anak. Penculik pada awalnya tidak berniat membunuh
korban, tapi karena panik ia membekap wajah bocah J sampai kehabisan nafas dan
akhirnya tewas di dalam kamar mandi.
Sebenarnya ini bukan kasus yang pertama. Sebelumnya ada kasus
seorang anak yang ditemukan tewas di dalam sebuah kardus. Kondisinya tidak
lebih baik, dan ini merupakan kasus yang hampur sama. Penculikan terjadi setelah
sekolah usai, sang anak tidak kunjung pulang ke rumah.
Perasaan Ibu
Saya tak bisa membayangkan, ketika pagi sekali sang ibu
menyiapkan sarapan untuk anak berangkat sekolah, tetapi hingga sore sang anak
belum pulang, dan keesokan harinya ditemukan tewas dengan mengenaskan.
Setiap ibu pasti sedih, pasti sama-sama takut kehilangan anak.
Begitupun saya.
Karena penculikan ini terjadi sangat mudah. Pulang sekolah dan dilakukan
oleh orang yang dikenal oleh korban.
Berarti setiap anak pun berpotensi untuk mengalami. Karena
jutaan anak pulang sekolah setiap hari, dan juga kenal baik dengan orang lain.
Baik itu teman, tetangga, ataupun saudara.
Baca: Orang Tua Sempurna
Gak Boleh Main!
Setelah kejadian demi kejadian tentang kasus penculikan anak,
saya jadi berpikiran "Kifah gak boleh main!" Maksudnya main di luar
rumah bersama teman-temannya.
Padahal sebelumnya, saya senang melihat Kifah jadi anak yang
mudah bergaul dan bersosialisasi. Tapi jujur saja, rasa kurang aman membuat
saya paranoid untuk melepaskan Kifah bermain dengan teman-temannya di luar
rumah.
Dikutip dari ibudananaku.com
Bermain tentunya merupakan
aktivitas yang menyenangkan bagi anak. Melalui berbagai permainan, anak akan
belajar bagaimana menjadi pribadi yang lebih baik. Selain itu, bermain bersama
teman juga memiliki beragam manfaat, antara lain kemampuan berempati,
bersosialisasi, toleransi, bergiliran, mengikuti aturan permainan, serta
melatih jiwa kepemimpinan dalam diri.
Kebutuhan anak untuk
berteman sebenarnya sudah bisa dilihat ketika ia berusia 3 tahun. Pada usia
itu, anak sudah mulai suka bermain bersama anak seusianya. Kita akan disuguhkan
‘pemandangan’ bagaimana sikap anak dalam menghadapi masalah dan cara yang ia
gunakan untuk menyelesaikannya ketika terjadi konflik, ada teman yang malas
main, saling berebut mainan dan bermacam persoalan lainnya. Efeknya, kecerdasan
sensitifitas anak akan meningkat dan membuatnya belajar untuk tidak bersikap
egois.
Ya, Kifah suka banget bermain sama teman-teman di sekolah dan
juga di rumah. Tapi setelah kejadian demi kejadian kasus penculikan dan
kekerasan pada anak, saya jadi berpikir ulang.
Bermain Hanya di rumah
Hingga terbentuklah sebuah aturan kalau Kifah hanya boleh main
di dalam rumah setelah pulang sekolah. Itu pun saya selalu berpesan,
"kalau bukan dijemput ummi, gak boleh pulang" saking paranoidnya.
Setelah sekolah, Kifah boleh main di rumah. Dan boleh main
diluar selepas ashar. Sekitar jam 4 sore.
Kasihan memang awalnya, Kifah suka nangis kalau ada temannya
yang ngajak main, dan teriak ngajak main dari luar rumah. Tapi mau gimana lagi,
demi keamanan, saya gak mau ambil resiko.
Positifnya Main di Luar
rumah
Sebenernya, ada positifnya juga anak bisa main dengan anak-anak
tetangga di sekitar rumah. Seperti halnya kutipan artikel di atas, saya pun
merasa demikian.
Pertama, anak jadi mudah
bersosialisasi. Ia bisa bergaul banyak orang yang karakternya berbeda, sehingga
tahu bagaimana cara memperlakukan orang lain.
Kedua, belajar berbagi dan
tidak egois. Kalau di rumah dia bisa bermain sepuasnya dengan mainannya
sendiri, tapi kalau diluar rumah mau gak mau harus gantian sama temannya yang
lain.
Ketiga, lebih banyak bergerak.
Beberapa permainan tradisional masih ada di sini. Seperti taplak gunung, petak
umpet, lompat tali, jadi anak bisa main sambil berolah raga dan melatih
psikomotorik.
Keempat, anak lebih ceria.
Bertemu dengan teman sebaya itu membuat anak jadi lebih ceria, karena bisa
bermain bersama, dibanding di rumah yang hanya bisa main sendiri.
Banyak juga ya ternyata positifnya.
Paranoid
Ya itu tadi, karena banyak kasus kekerasan yang terjadi pada
anak, saya jadi paranoid sendiri. Apapun bentuk dan motifnya, kejahatan
tetaplah kejahatan. Dan sebagai ibu saya sangat khawatir. Apalagi kata Bang
Napi kejahatan itu bukan hanya karena niat pelaku, tapi karena ada kesempatan.
Hingga akhirnya saya membatasi ‘ruang gerak’ bermain Kifah di
lingkungan rumah.
Walaupun anak ada di rumah, tidak bermain di luar, dan saya
merasa cukup aman bukan berarti tanpa kendala. Tetap aja ada minusnya.
Pertama, anak jadi kurang
pergaulan. Ya walaupun bisa dicover di sekolah, gak kenal sama anak tetangga
juga gak baik kan? Sebisa mungkin kita mengajarkan silaturahmi antar tetangga
kepada anak.
Kedua, budget mainan jadi
membengkak. Karena gak boleh main di luar rumah, otomatis anak harus dihibur
dengan permainan di dalam rumah. Walaupun sebenernya kalau orang tuanya
kreatif, soal mainan di rumah gak jadi soal. Tapi kadang, tidak semua ibu bisa
kreatif dan juga punya waktu luang.
Ketiga, rentan terpapar gadget.
Karena hanya di rumah, anak jadi rentan jadi gadget addict. Apalagi orang tua
yang menyediakan gadget pribadi untuk anak. Di dalam gadget pun masih banyak
konten yang tidak ramah anak. Orang tua harus ekstra ketat mengawasi.
Kita semua sudah sama-sama tahu lah ya, gadget itu punya banyak
manfaat, tapi tidak dipungkiri punya banyak dampak negatif untuk anak.
Keempat, anak kurang bergerak.
Itu tadi, kalau sudah terpapar gadget anak pasti malas bergerak. Bisa-bisa anak
cuman tiduran sambil main gadget di rumah. Ini juga gak baik kan?
Ini juga hal yang sangat
penting. Salah satu talkshow tentang parenting yang membahas gadget dan anak
mengatakan bahwa, gadget cukup berbahaya untuk anak. Bisa menyebabkan banyak
penyakit, seperti obesitas, gangguan mata, gangguan tulang belakang, gangguan
tidur, dan juga gangguan bicara untuk balita yang terpapar gadget sejak kecil.
Tuh kan jadi galau juga?
Bahkan dokter anak juga menyarankan agar setiap dua jam sekali
anak harus beristirahat dari gadget. Tapi di lapangan, ya susah juga ngelepas
gadget dari tangan anak. Iya apa iya?
Tugas Ibu itu Berat
Kalau udah mikir kejauan begini, rasanya tugas ibu itu berat
banget. Anak harus diproteksi di luar dan di dalam rumah. Bukan apa-apa, memang
zamannya yang berubah.
Tantangan ibu tiap masa ke masa memang terus berubah. Bahkan isu
pedopilia dan kejahatan terhadap anak lainnya jadi mimpi buruk bagi semua orang
tua. Karena menurut beberapa psikolog dan pakar parenting, kejahatan anak yang
berbentuk kejahatan seksual bisa menyebabkan trauma bagi anak. Dan lebih
menakutkan lagi, trauma ini dirasakan sepanjang hidup anak.
Virus aja katanya sudah berevolusi, apalagi motif kejahatan.
Baik yang terlihat atau pun yang kasat mata.
Saya yakin, sekuat apapun kita melindungi anak-anak dari
pengaruh buruk dan juga berbagai kejahatan terhadap anak, para pelaku kriminal
akan terus mengintai. Bukan suudzon terhadap orang-orang di lingkungan rumah,
tapi bersikap waspada dan hati-hati juga harus menjadi tameng untuk melindungi
anak-anak kita.
Kota Layak Anak
Duh, namanya keren banget kan ya.
Berikut berita yang saya kutip dari web resmi KPAI.go.id tentang
kasus kekerasan terhadap anak, yang jujur saja membuat bulu kuduk saya
merinding disko.
Kejahatan seksual pada
anak kian meresahkan. Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi, menyebut kasus Jakarta
International School (JIS) dan Emon, hanya puncak gunung es.
Faktanya, kasus yang
dilaporkan pada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meningkat dari tahun
ke tahun. Hingga pertengahan April tahun ini, sudah ada 459 kasus kekerasan
seksual anak.
Yang ironis, anak kini
bukan hanya menjadi korban. Jika tak ditangani dengan cepat, ia juga bisa
menjadi pelaku. Data KPAI menyebut, per bulan ada 15 anak yang menjadi pelaku
kejahatan seksual.
Situasi itu darurat.
Karenanya, pada 11 Juni lalu dikeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia
(Inpres) Nomor 5 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual
terhadap Anak.
Peraturan itu menginstruksikan
15 lembaga terkait untuk mencegah dan memberantas kejahatan seksual anak di
Indonesia. Senin, 7 Juli 2014 di Hotel Mandarin, Jakarta aturan itu
disosialisasikan.
“Gerakan itu meliputi
edukasi dan sosialisasi, pengawasan, dan respons cepat dari penegak hukum,”
Linda Sari Gumelar, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
menerangkan.
Adapun lembaga yang
termaktub dalam aturan itu, adalah 13 kementerian, Kepolisian Indonesia, dan
Kejaksaan Agung. Kementerian PP dan PA pun sudah punya langkah untuk ikut
andil.
Karena banyak terjadi kejahatan terhadap anak (berdasarkan data
di atas). Seperti pedopilia, dan kejahatan lainnya. KPAI sedang menggodok kota
ramah anak.
Apa itu kota layak anak?
Saat ini belum ada satu pun wilayah di Indonesia
yang ramah anak.
Berdasarkan kesepakatan
PBB, setidaknya butuh 31 indikator untuk menyebut sebuah daerah menjadi layak
anak. Butuh ketegasan dari eksekutif, legislatif, yudikatif, juga
masyarakatnya.
Bagaimana tempat itu
aman dan nyaman, ada kawasan tanpa rokok, pelayanan kesehatan. Sudah ada lebih
dari 180 kota di dunia yang disepakati sebagai layak anak.
Di Indonesia, baru
berupaya menuju ke sana. Yang sudah cukup baik di Indonesia, seperti Denpasar,
Surabaya, Bandung, dan Solo.
Walaupun di Indonesia belum ada kota layak anak, dan akan menuju
ke sana. Saya 1000% sangat mendukung program ini. Karena jujur saja, saat ini rasa
aman terhadap anak makin terasa berkurang. Dan jika ditetapkan program kota layak
anak dari tingkat RT dan RW, tentu saja saya dengan senang hati ingin menjadi
relawannya.
Kenapa?
Karena kebutuhan bermain anak itu harus tercukupi dengan baik.
Apalagi kalau bukan untuk perkembangan diri anak ke depan.
Tapi apa daya, kalau rasa aman untuk membiarkan anak bermain di luar
rumah saja sudah sedemikian tipisnya?
Ya semoga saja
kedepannya KPAI bisa mendorong pemerintah eksekutif dan legislatif sesegera
mungkin membentuk tim untuk mempercepat langkah menciptakan kota layak anak.
Aamiin.
Jadi Anak Rumahan
Saya sebagai ibu harus ekstra kerja keras, karena bukan sekolah
yang akan memproteksi anak, bukan guru ngajinya, bukan satpam komplek, tapi ya
kita ini Ibu dan Bapaknya.
Kasus pencabulan, penculikan,
kekerasan selalu menjadi mimpi buruk bagi orang tua manapun. Bahkan di dalam
rumah, di dalam pengawasan kita pun, peluang untuk berlaku kriminal itu tetap
ada. Kalau kita berkaca di kasus JIS dulu, bahkan di ligkungan sekolah yang
kita anggap aman pun masih bisa kejadian kan?
Paranoid emaknya ini
mungkin akan jadi hal yang gak nyaman untuk Kifah. Tapi mudah-mudahan ini hanya
akan bersifat sementara, dan kedepannya rasa aman bagi anak akan terus
meningkat.
Kifah sekarang terpaksa
di rumah dulu, semoga aja emaknya bisa makin kreatif dan gak kehabisan ide dan
tenaga untuk main bareng.
Baca: Jadi Ibu Harus Jorok!
Kadang suka lucu juga
sih, kalau Kifah abis main sore-sore di luar rumah.
“Tuh, Mi. Aku gak ada
yang nyulik kan?”
Haha. Dasar emaknya
parno, tapi ya gak apa-apa lah, demi kebaikan.
Sumber:
http://www.ibudanaku.com/ruangmom/artikel/saatnya-bermain-bersama-teman
http://www.kpai.go.id/berita/marak-kejahatan-seksual-belum-ada-kota-layak-anak-di-indonesia/
kalau waktu saya kecil dulu,mau maen kemana ja aman2 aja ya..kalos ekarang bener2 dibuat cemas,apalagi banyak berita penculikan sadis.. :(
ReplyDeleteAnakku (3 tahun) boleh main di luar Mbak asal masih dalam pengawasan dan dekat-dekat dari rumah. Biasanya aku juga jadi ikutan main di luar rumah. :D
ReplyDeletekadang kasihan juga melihat anak2 yang mainnya hanya di rumah saja.. mereka terkungkung dan gak bersosialisasi dengan teman sepermainan mereka di luar rumah.. Kadang2 rasa protective untuk melindungi si anak membuat si anak sepertinya dikekang ya..
ReplyDeleteAku juga jadi parno banget karena banyak kejadian2 yang menimpa anak-anak itu..
ReplyDeleteanak2ku aku beri pengertian dan bekal untuk self defense, misalnya lari atau teriak kalo ada orang yang mencurigakan.. *emak2 parno an..
Budget mainan membengkak haha.. Itu aku banget. Salim jadi minta beli mainan terus karena tiap hari dikurung di rumah. Nanti boleh main di sekolah.
ReplyDeletelha, postingannya tambah ke sini tambah panjang nih, mirip blognya siapa tuh ya, hihi....
ReplyDeletega di sono ga di inggris bu, sama aja. meski udah maju negaranya, kasus penculikan anak selalu ada. yg terakhir malah si anak ga ditemukan mayatnya meski sudah bisa dipastikan tewas karena pelaku tertangkap. spekulasi sih dibakar dan abunya dibuang, sadis lah. untungnya di sini 4 musim jd 3 musim udaranya ga pas untuk maen di luar. pas musim panas biasa rentan anak ilang. paling aman sih ortu ikutan maen hehe. cuma kalo anak udah gede ga mau dibuntuti emaknya sih ya, serba salah deh
ya ampun, sadis pake bgt. Kenapa sih anak jadi korban pembunuhan.. dunia ini menyeramkan..huhuhu
DeleteKita semua akhirnya jadi ortu paranoid ya mbak. Di dalam rumah maupun di luar tetap urusan pornografi dan pelecehan seksual bisa menyerang. Kuat2in doa akhirnya.
ReplyDeletesaya jg lg meminimalkan wkt jav main di rumah... slain krn cuaca sdg ga asyik, jg krn pergaulannya ga oke... dan kalaupun main di luar rmh sebisa mungkin hrs brg sama saya...
ReplyDeleteAnak2ku aku antar jemput sendiri kemanapun. Kalau main ke tetangga, aku melarangnya main didalam rumah, harus diluar dimana aku bisa lihat dari jauh & dengar suaranya. Insya Allah mereka tetap mendapatkan haknya bersosialisi dg teman sebaya. Ibunya aja kudu mau repot sedikit ngawas2in.
ReplyDeleteGak cuma soal main diluar rumah saja mak.. Kalau anak lagi outbond atau fieldtrip sama sekolahan juga kuatir bgt.. kepikiran gimana kalo pas gurunya meleng trus ada yg narik.. :(
ReplyDeleteiya nih jadi was was kalau biarin anak main di luar tanpa pengawasan, padahal dulu jaman kita kecil juga seneng banget bisa main di luar bareng temen-temen, kalau belom dipanggil ya belom pulang
ReplyDeletesemoga Indonesia bisa jadi negara yang aman dan nyaman buat anak-anak ya
"tuh mi gaada yang nyulik kan?"
ReplyDeleteAduh adek pertanyaannya lucu banget haha ini sambil nyindir gitu ya..
Btw kalau ada kota layak anak aku pasti juga setuju, apalagi jakarta. Kapaan ya jakarta aman dan jadi kota layak anak, saya miris liat anak sd smp disini udah dewasa dewasa gitu lho penampilannya.