Copyright by tettytanoyo. Powered by Blogger.

[Opini] Kurangnya Pendidikan Peran Perempuan dalam Kurikulum Sekolah


"Aku pengen resign, tapi masih belum bisa. Orang tua gak kasih izin, keluarga juga masih perlu sokongan ekonomi tambahan. Tapi jujur aja, aku galau banget sama anak."

"Sedih, aku merasa useless banget di rumah. Ibu nyuruh aku kerja, karena udah capek-capek sekolahin aku sampe sarjana, tapi malah di rumah terus, cuman momong anak. Aku merasa sakit hati dan gak berguna jadinya."

...

Dialog curhat seperti di atas itu seperti familiar. Yaps, familiar di kalangan perempuan atau ibu yang memutuskan bekerja di kantor atau tinggal di rumah, full ngasuh anak dan beberes setiap harinya. 

Kegalauan seperti ini sering sekali saya dengar dari teman-teman. Walau sekedar update status media sosial, atau curhat langsung ke saya. 

Saya ngerti kenapa mereka galau, toh saya pun pernah berada di posisi mereka. Sama-sama bingung antara anak dan eksistensi diri melalui pekerjaan.


Ujung-ujungnya, para perempuan atau ibu ini melakukan pembelaan diri dan pembenaran, atau kita kenal istilahnya Mom War, antara ibu bekerja dengan ibu rumah tangga.

Mom war yang tak kunjung usai, bahkan sampai muncul kata-kata ataupun gambar yang menyakitkan, baik untuk ibu bekerja maupun ibu rumah tangga.

Sebenernya, kalau saya boleh ngajak temen-temen berpikir sejenak, semua kegamangan dan pertarungan opini antara ibu bekerja vs ibu rumah tangga, gak harus terjadi jika kurikulum pendidikan di Indonesia agak diretouch sedikit mengenai peran gender atau jenis kelamin. Yaitu laki-laki dan perempuan.

Jadi, semata bukan karena pribadi masing-masing yang senengnya war atau gontok-gontokan, tapi lebih jauh lagi, ini semua dikarenakan kurikulum pendidikan Indonesia yang masih sangat kurang dalam memberikan edukasi tentang peran laki-laki dan perempuan di dalam hidup ini, tsahh.

Sex Education emang sering digembar-gemborkan, tapi lebih ke arah edukasi sex secara fisik, seperti pengenalan alat reproduksi, bagaimana menjaga tubuh kita dari orang lain, dll. 

Bagus sih, tapi menurut saya tetep kurang. Karena anak perempuan dan laki-laki juga perlu diberi tau sejak dini, peran perempuan dan laki-laki secara sosial, apa saja tanggung jawabnya, apa saja kewajibannya, dan apa saja tantangannya.

Baca juga: Dari Si Tomboy Jadi Si Feminim

Balik lagi ke peran perempuan dan laki-laki di masyarakat.

Sadar kah kita kalau dari kecil  kita diajarkan hal yang sama dengan laki-laki, ibarat kata, gak ada bedanya dengan teman laki-laki kita.

Secara materi semua plek ketiplek sama. Guru-guru berbasis mata pelajaran tentunya mengajarkan materi pelajaran yang sama seperti Trigonometri, Arus listrik, Penyerbukan, Reaksi Kimia, dan lain sebagainya.

Semuanya sama, tak ada perbedaan bukan? Bahkan kadang yang perempuan lebih jago ngitung jumlah rantai karbon dibanding laki-laki, padahal yang banyak kerja di pertambangan kan Bapak-bapak, yang bersinggungan sama bidang tersebut.

Menurut saya, tetap harus ada pendidikan/pembelajaran yang "membedakan" antara laki-laki dan perempuan. Terutama dalam memahami peran gendernya ketika ia terus beranjak dewasa.

Jangan sampai ketika dewasa anak perempuan itu berpikir "Ya emang dari kecil, gue diajarin ilmu x y z, ya mau gak mau, gue harus pake buat kerja."

Kita, orang dewasa ini macam disuruh mikir "lah kan emang begini seharusnya, lah kan emang sekolah itu buat kerja." Thats it.

Hmmmmm.

Kurikulum Indrustial

Indonesia memang menganut sistem kurikulum Industrial dimana terinspirasi dengan adanya Revolusi Industri.




Makanya, sejak dulu, kalau kita perhatikan semua mata pelajaran yang kita terima adalah berbasis kompetensi alias keahlian melakukan sesuatu yang sudah tersistem. Apalagi kurikulum SMK, mata pelajarannya adalah untuk melakukan hal tertentu yang terstruktur dan terorganisir. 

Kenapa seperti itu? Karena memang, kurikulum Industrial itu menyiapkan lulusannya menjadi seorang pekerja.

Bahkan, waktu kecil, saya kebayangnya kalau udah gede bakal jadi kasir di supermarket loh, suwer

Ya ampun itu kalau inget jadi ngakak sendiri.

Oleh karena itu, dengan adanya kurikulum 2013 berbasis karakter, saya sungguh gembira. Pemikiran akan kognitif yang agung sudah mulai berkurang. Anak-anak lebih dibina karakternya selain kognitifnya. Walau pun tetep sih, di lapangan ada yang tetap mengagung-agungkan  nilai ulangan, nilai ujian, nilai matematik, dsb.

Tetep ya, orang tuanya terbawa nuansa zaman dulu pas sekolah, dimana nilai kognitif dan rangking yang jadi acuan kecerdasan anak.

Galau Akan Masa Depan

Coba deh, siapa yang cita-cita masa kecil, gak sinkron sama kerjaan atau pun kondisi masa kini? Berapa banyak sih orang yang sukses meraih cita-cita masa kecilnya? Dan beneran happy dengan keadaannya sekarang?

Ya mungkin ada, tapi ga banyak. Trus kita termasuk yang mana?

Ada gak sih yang mikir, "kok tiba-tiba gue jadi guru ya? Tiba-tiba gue jadi PNS? Tiba-tiba gue jadi blogger?" Semuanya bak diluar rencana.

Tak Tahu Peran, Tak Punya Pilihan

Karena ketika kita gak tau siapa diri kita, apa peran kita, ujung-ujungnya kita gak punya pilihan, ketetapan hati, dan keputusan di masa depan.

Dosen saya dulu pernah nyeletuk, "Udah gak zaman tuh sekarang Ibu memasak di dapur, ayah berangkat ke kantor. Karena sekarang, ibu juga bisa berangkat ke Kantor dan Ayah bisa masak di dapur."

Iya sih, tapi kok saya dengernya gak enak ya waktu itu. Seakan-akan gak ada batasan lagi antara tanggung jawab laki-laki dan perempuan.

Baca Juga: Susahnya Menikah

Karena pesan pendidikan yang blur tentang peran perempuan dan laki-laki ini, jujur aja, saya pun merasa jadi korban dan menjadi generasi yang kebingungan.

Gak punya pandangan, pemahaman, dan keputusan sejak kecil. Kehidupan dijalani dengan let it flow tanpa gambaran yang jelas tentang masa depan akan seperti apa, pekerjaan apa yang bisa dilakukan, peran apa yang harus saya "mainkan" semuanya tak terencana sejak di bangku sekolah dasar.

Padahal kita sekolah lama loh, TK 1 tahun, SD 6 tahun, SMP 3 tahun, SMA 3 tahun, Kuliah 4 tahun. 17 tahun yang sia-sia kalau sampai gak tau tujuan hidup sendiri *so sad

Peran Guru

Di sekolah, memang pelaksana kurikulum yang paling utama adalah guru. Tapi, dengan beban mata pelajaran yang begitu berat, apa masih bisa mengakomodir hal lainnya dengan segala keterbatasannya?

Guru Bimbingan Konseling

Memang sih, guru BK paling pas untuk jadi konselor atau orang tua yang mengarahkan anak didik diluar mata pelajaran, tapi kadang guru BK lebih identik dengan kasus anak, kedisiplinan, dll. Dan guru BK juga hanya ada di tingkatan sekolah menengah saja, padahal di tingkat sekolah dasar pun, fungsi dan peran perempuan dan laki-laki itu penting disampaikan.

Ini bisa jadi salah satu solusi, peran guru BK ini harusnya lebih diarahkan untuk memberikan gambaran peran dan tanggung jawab anak-anak di masa depan nanti, termasuk peran gendernya sebagai perempuan dan laki-laki. Perannya dalam membangun keluarga, masyarakat, membangun bangsa dan lainnya.

Bukan hanya soal profesi atau cita-cita sebagai seorang xxxxx, tapi berbagai peran yang akan disandang oleh manusia dewasa harus bisa dijelaskan oleh seorang guru BK di sekolah. 


Jangan Meremehkan Anak Usia Sekolah Dasar

Karena di usia ini lah anak-anak akan sering bertanya "eksistensinya" di dunia ini. Mulai dari "asalnya dari mana" "terbuat dari apa" "kenapa kita ada"  dan bahkan anak-anak suka berimajinasi ingin jadi apa kelak dia ketika dewasa dengan cara belajar dari lingkungan sosial.

Mengenal Peran Gender Sejak Kecil, Meminimalisir Kegalauan di Masa Depan


Seperti yang sudah saya katakan di atas, kita menjadi generasi yang kebingungan karena kita kurang atau bahkan tidak paham tugas dan fungsi kita masing-masing.

Sebagai perempuan, sejak kecil kita tidak menerima pendidikan yang lengkap mengenai tugas dan peran perempuan dalam keluarga dan masyarakat.  Tidak semua keluarga mengerti bagaimana mengedukasi anak-anaknya akan perannya sebagai perempuan dan laki-laki.

Bersyukurlah kalau kamu dilahirkan dari keluarga yang memang mengerti dan paham cara mengarahkan anak. Sehingga, ketika dewasa, anak sudah tidak kebingungan dan mantap mengambil peran di masyarakat.

Lah kalau ngga?

Agar Perempuan Tidak Berujung Pada Kegalauan

Andai peran dan fungsi perempuan di keluarga dan masyarakat diajarkan sejak dini, mungkin Mom war tentang ibu bekerja dan ibu rumah tangga akan bisa diminimalisir.




Pertama, mental perempuan akan lebih siap. Karena sudah ada gambaran akan masa depan. Jika bekerja akan lebih siap mempersiapkan mental, diri, kompetensi, dan pengetahuan tentang seluk beluk ibu bekerja.

Kedua, begitupun dengan Ibu rumah tangga. Memilih jadi ibu rumah tangga karena pilihan dan kesiapan mental, bukan hanya nasib semata. Dan sudah tau, apa yang akan dilakukan jika saya tidak bekerja di kantor. Menjadi seorang wirausahawan kah, menjadi seorang relawan di dunia pilantropi kah, atau menjadi pelayan masyarakat dengan aktif di komunitas.

Baca juga: 5 Inspirasi Wirausaha Bagi Muslimah dari Brand Tas Heejou

Coba deh bayangin, jika pendidikan kita sudah berpikir sejauh ini. Khususnya bagi perempuan, maka hidupnya akan lebih bahagia dan jauh dari kegalauan, antara bekerja atau tidak.

Karena semuanya sudah dipersiapkan sejak kecil, mentalnya disiapkan, diberikan informasi yang lengkap tentang kemungkinan atau resiko dari pilihan yang akan diputuskan. Perempuan pun gak akan saling "serang", saling menjatuhkan karena alasan pilihan hidup.

Ibu bekerja bahagia dan mantap dengan keputusannya, ibu di rumah pun bergembira karena ini merupakan gambaran kehidupan idealnya sejak kecil.

Gak galau dan gak merasa salah dalam ambil keputusan.

"Karena ibu yang bahagia itu adalah koentji untuk melahirkan generasi yang bahagia, dan semuanya sudah dipersiapkan dengan baik bahkan semenjak sang ibu masih belajar mengeja namanya sendiri."


Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi berdasarkan pengalaman dan pengamatan, dan tidak menerima perdebatan dalam bentuk apapun. Terima kasih :D

23 comments

  1. Iya mbak, anak usia SD sekarang boleh dikatakan pertanyaan udah kritis banget. Kadang saya harus cari kata-kata yang oke buat menjawab mereka pas saat ngajar 😂

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kritis mbak, anakku aja kadang suka nanya "apakah harus nikah dengan orang yang kita suka?" "Kenapa kita harus nikah dan punya anak?" Toeng toeng

      Delete
  2. jangankan anak SD ya mbak, aku sendiri sering dipusingkan dengan pertanyaan2 dari anak TK wkwkwk.. tp intip2 buku pelajaran punya ponakan yang masih SD wahhh ternyata emang udah susah banget ya pelajarannya..

    ReplyDelete
  3. Satu hal penting lagi nih mom yang gak boleh terlewat: Pendidikan dalam Keluarga. Nah, ini bahkan lebih bisa mendasari pencarian identitas sejak usia dini loh. Makanya hal ini sering jadi PR buat kita para orang tua di rumah, terutama buat ibu bekerja atau ayah yang jauh alias gak bisa pulang setiap hari.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mbak, keluarga pun harus bisa mendidik anaknya punya tujuan hidup yang jelas. Tapi kadang aku berkaca sama diriku sendiri yang dulu peran keluarga ga terlalu maksimal buat mengarahkan.

      Delete
  4. Ya ampun ini aku banget loh Mba hiks jadi sedih yah jadi generasi kebingungan 😓
    Sampai saat ini pun aku tetep hrs merasakan kehidupan seperti air mengalir tanpa tujuan huhu

    ReplyDelete
  5. Bener banget.. perlu banget dirombak nih kurikulum sekolah. Terutama utk anak usia paud dan sekolah dasar. Pendidikan karakter lebih ditekankan agar bisa saling menghargai. Baik soal perbedaan gender ataupum pilihan hidu0 seseorang. Jadi ga ada debat2an atau mom war saat mereka dewasa.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sedih kalau ortunya cuman maksain anak bisa kognitif aja, abai sama akhlak anak dan pola pikir anaknya sendiri. Dari SD malah didrill buat ngerjain soal2 aja, tapi hati dan pikirannya kosong.

      Delete
  6. Ini bener banget. Sejujurnya aku sempat mau tulis hal ini loh mbak, bisa jadi acuan nih. Kenapa peran perempuan terasa kurang di kurikulum sekolah mungkin karena adanya budaya patriarki yang sampai sekarang enggak hilang-hilang.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya posisi perempuan di masyarakat harus bisa dijelaskan oleh sekolah. Karena suatu saat perempuan akan beranjak dewasa, jadi istri, ibu, guru, dokter, dll. Semuanya harus dijelaskan detail, bahwa perempuan itu punya peran yang sangat penting di masyarakat

      Delete
    2. Berikut kewajiban dan tanggung jawab yang akan diemban oleh perempuan

      Delete
  7. aku pro opini ini
    Menurutku memang penting ada materi tentang peran perempuan di pendidikan kita. Biar ketika ada sebagian perempuan yang memilih berkarya di rumah dan sebagian lainnya berkarya di luar rumahnya enggak ada lagi gontok-gontokan dan galau-galauan...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Seneng ya kayayaknya kalau anak perempuan udah visioner kedepannya mau apa dan bagaimana. Gak mesti terkatung2 sama opini publik yang bikin seteresss.

      Delete
  8. aku mungkin termasuk jadi generasi kebingungan mbak. dari kecil gak pernah punya cita-cita yang bener-bener ingin kuperjuangkan. jadinya hidupku kayak ngalir aja gitu. jadi kadang tanpa arah. huhu. makasih sharingnya ya mbak :)

    ReplyDelete
  9. iya mbakk. jadi bingung ya mana yang tanggung jawab sebenarnya. tapi padahal yang bagus kan yang sama2 kerja sama

    ReplyDelete
  10. Iya banget ya, anak sekarang itu pinter banget dan kalau nanya gak bakal berhenti sebelum dia puas. Kebetulan saya pernah ngajar anak-anak SD walau hanya sehari dikelas inspirasi, seminggu sebelum dimulai galau ngasih tema inspirasi apa ya yang bisa dicerna dengan mudah oleh anak-anak SD. Ternyata anak sekarang ini pinter-pinter jadi waktu ngasih kelas inspirasi betapa kagumnya saya sama mereka.

    ReplyDelete
  11. Biarpun cm opini mba tulisanmu dr atas sampe bawah aku baca sambil manggut2 n setuju. Waw, ini bener banget, kataku. Jgnkan dulu mba, skrg aj anak2 dr TK udh ditekan kognitifnya. Miris. Seakan2 ortu zaman now ga memetik pembelajaran dr pola pendidikan dahulu. Andai ya pikiran kt udh dibuka sejak sekolah, guru BK bs dijadiin tempat curhat yg benar mungkin masa depan akan lebih terarah. Ga ad tuh cerita mom war yg menyudutkan masing2 individu seolah pilihannya yg paling baik. Tulisan bagus mba. Makasih. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya aku gemasss bgt sama yang saling sindir itu. Apalagi sindiran2 itu bikin kita jd ga bahagia, dan ngaruh ke kondisi psikis dan anak juga jd kena imbasnya kalau emaknya galau gegara opini publik yang bikin idealisme naik turun.

      Delete
  12. Hikss betul banget nih kak, denger omongan orn kadang bikin nyesek. Banyak galau dan bingungnya

    ReplyDelete
  13. Banyak cara meraih mimpi. Biar zaman sudah berubah anak harus di jaga. Yang penting tanggung jawab bersama, ayah dan ibu. Peran kulikulum selama ini terlihat kaku tapi inilah yang akan membuat kita berubah dan berani membuktikan kita bisa

    ReplyDelete
  14. Setujuu tapi balik lagi ke keluarga juga mbak. Percuma nanti kurikulum di sekolah diajarkan begini kalau keluarga juga tidak mendukung dan mengerti

    ReplyDelete
  15. pelajaran menjadi perempuan yg sejati adalah sebuah sekolah kehidupan.. setiap hari selalu ada saja yg harus kita pelajari sebagai bekal untuk melangkah ke masa depan agar tak mengulang kesalahan yg sama..

    ReplyDelete
  16. Mbaa, opinimu mantap bener. Ditulis secara kritis. Mnurutku memang ya semua balik lagi dengan bagaimana keluarga mendidik anak zehingga ada bekal hidup di tengah masyrakat

    ReplyDelete

Terima kasih telah berkunjung ke blog ini, silakan tinggalkan komentar yang baik dan positif ya :D