PPDB
Seleksi Usia, mengatasi masalah dengan masalah
***
Daftarin
anak ke sekolah di usia lebih tua agar lebih siap (NO)
Daftarin
anak ke sekolah di usia agar bisa masuk ke sekolah negeri (YES)
Sekjen
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo mengakui bahwa ada
sejumlah orangtua mempermasalahkan kriteria usia yang dijadikan pertimbangan
dalam sistem PPDB. Kebijakan mengenai kriteria usia, lanjut Heru, merupakan
bagian dari pembangunan sumber daya manusia dalam
Sustainable Development Goals (SDGs).
Heru menjelaskan, tujuan dari penambahan kriteria
usia dalam PPDB DKI Jakarta yakni agar siswa dari kalangan tidak mampu dan
tertinggal bisa menikmati fasilitas pendidikan yang lebih baik dan memiliki
kesempatan yang sama untuk berkembang di masa depan. “Gubernur
memprioritaskan anak-anak yang berusia lebih tua yang tertinggal serta sekolah
di pinggiran untuk bisa masuk di sekolah negeri dan menikmati fasilitas
pendidikan,” imbuhnya.
Sumber: https://mediaindonesia.com/humaniora/322211/kriteria-usia-dalam-ppdb-demi-pemerataan
Setaip tahun, tepatnya di tahun
ajaran baru, di timeline facebook maupun sosial media lainnya pasti terjadi kekisruhan
soal PPDB online. Isinya rata-rata adalah bentuk protes orang tua yang anaknya
tidak bisa masuk ke sekolah Negeri karena tidak masuk kriteria usia. Hal ini
tentunya menjadi sebuah keresahan, bagi kami selaku orang tua. Walau pun saya
belum merasakannya langsung, namun, 2 tahun lagi, saya harus mendaftarkan anak
saya ke Sekolah Menengah Pertama.
Banyak orang tua yang mengeluh,
karena anak-anak mereka tidak bisa masuk ke sekolah negeri karena usia yang
masih muda. Sementara, para pendaftar lainnya berusia jauh lebih tua, dan diprioritaskan
masuk ke sekolah negeri tersebut.
Contohnnya pada kasus pendaftaran
usia SMA, batas maksimal usia yang diperbolehkan adalah 21 tahun untuk masuk ke
Sekolah Menengah Atas. Ketika para pendaftar dengan usia mendekati 21 tahun jumlahnya
lebih banyak, otomatis, anak yang berusia 14-16 tahun tidak bisa masuk, kerena
kuotanya sudah habis!
Merujuk pada pernyataan Sekjen
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo, pendaftaran sekolah negeri,
seleksi berdasarkan usia ini diharapkan bisa menjadi solusi atas masalah
anak-anak yang putus sekolah atau kaummiskin, agar bisa menikmati fasilitas
pendidikan yang berkualitas.
Namun, nyatanya, peraturan ini
membuat anak-anak yang berusia lebih muda (14-16 tahun, usia normal anak masuk
SMA) terancam putus sekolah juga! Kalau sudah begini, menurut saya, sama
seperti mengatasi masalah dengan masalah baru.
Kalau saya mencoba berpikir
sendiri, solusi yang bisa diambil adalah:
1.Menunggu tahun berikutnya,agar usianya
nambah lagi satu tahun.
2.Sekolah di sekolah Swasta aja,
karena kemungkinan besar akan diterima.
Akan tetapi, jika pemerintah ‘memberikan’
solusi seperti ini, tidak semua orang tua bisa melakukannya.
Pertama, menunda sekolah anak itu
bukanlah hal yang mudah. Bagaimana dengan semangat dan motivasi belajarnya? Apa
yang anak harus lakukan di masa menunggu? Dan masalah lain yang akan muncul
kemudian.
Kedua, dari sisi ekonomi. Tidak
semua orang tua mampu menyekolahkan anak ke sekolah swasta, mengingat biayanya
yang tidak murah. Kalau sudah begini, bukankah bisa memicu anak menjadi putus
sekolah?
Lalu, dimana letak keadilan bahwa
pendidikan adalah hak semua anak, sesuai dengan Undang-undang:
Pada pasal 9 (1), UU 23/2002 dikatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan
pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya
Hmmm, sementara definisi anak menurut undang-undang
adalah:
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK. Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: ... Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Gimana dong yang usianya sudah 21 tahun???
Bagaimana Solusinya?
Saya sendiri memikirkan beberapa
hal yang bisa dilakukan, agar akses pendidikan merata bagi seluruh masyarakat Indonesia.
1.Menambah jumlah sekolah, sesuai
dengan data anak berusia sekolah di wilayah tertentu. Menambahkan kuota pendaftar
peserta didik baru, tanpa menambah jumlah sekolah, sama seperti sebuah bis yang
ingin mengangkut banyak penumpang, tapi kursinya gak ada penambahan, ya gak
bisa ikut semua akhirnya.
Solusinya, menunggu bis gratis
lain? Atau pakai bis lain yang pakai tiket/tarif lebih mahal.
2.Menurunkan range batasan usia anak,
jangan sampai 21 tahun. Karena semakin besar range-nya tentu makin banyak jumlah
pendaftarnya.
Lalu, bagaimana dong untuk pemerataan
pendidikan anak-anak yang putus sekolah? Terutama yang sudah menginjak 17+ ?
3.Maksimalkan program kesetaraan
atau paket C, dong!
Paket C (kejar paket C) adalah pelayanan pendidikan pada jenjang
menengah kejuruan melalui jalur non formal. Program paket C merupakan salah satu upaya yang dilakukan
oleh pemerintah untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat usia sekolah dan
usia dewasa yang karena berbagai sebab tidak melanjutkan pendidikan.
Jadi, kalau dilihat dari definisi di atas,
sebenernya, untuk usia yang sudah dewasa, bisa mendapatkan pendidikan pada
program kejar paket C. Nah, program paket C ini bisa dikembangkan menjadi lebih
baik tentunya.
Saya ingat, ketika SMA dulu, ada SMA
kelas terbuka untuk anak lainnya. Sekolahnya hanya hari Jum’at dan Sabtu, namun
nanti akan tetap sama mendapatkan Ijazah dari SMA. Menurut saya, program ini
sangat bagus untuk mengentaskan masalah kesempatan belajar.
Nah ini, saya menemukan sebuah jurnal tentang Sekolah Terbuka
dengan judul, SEKOLAH MENENGAH ATAS TERBUKA (SMA TERBUKA): SEBUAH
MODEL PENDIDIKAN YANG FLEKSIBEL.
Berikut abstraksinya:
Data Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen
Pendidikan Nasional (BalitbangDepdiknas, 2000) mengungkapkan bahwa pada tahun
ajaran 1999/2000 terdapat jumlah lulusan SMP/MTs sebanyak 2,66 juta orang. Dari
jumlah lulusan ini, yang melanjutkan pendidikan ke tingkat pendidkan berikutnya
hanya 1,78 juta anak (66,9%). Pada tahun yang sama, jumlah peserta didik yang
putus sekolah pada pendidikan sekolah menengah berjumlah 243.100 peserta didik
dari 5,6 juta peserta didik (9,03%). Apabila data ini dapat dianggap sebagai
keadaan ratarata setiap tahun, maka akan terjadi akumulasi yang semakin besar
dari tahun ke tahun mengenai jumlah peserta didik yang putus sekolah pada
pendidikan menengah dan peserta didik yang tidak melanjutkan pendidikan ke
sekolah menengah; terlebih lagi jika tidak dilakukan intervensi. Menghadapi
keadaan yang demikian ini, dibutuhkan suatu model/sistem pendidikan alternatif
yang inovatif dan fleksibel yang dapat mengatasi masalah/kendala kesempatan belajar.
Dalam kaitan ini, SMA Terbuka sebagai sebuah alternatif model/sistem pendidikan
yang inovatif dan fleksibel telah dirintis di 7 lokasi di 6 provinsi sejak
tahun 2001/2002. Tulisan ini akan membahas berbagai aspek tentang model/sistem
pendidikan SMA Terbuka sebagai sebuah model pendidikan yang fleksibel.
Sumber: Jurnal Teknodik Vol.
12 No. 2, Desember 2008
Di beberapa berita online yang
saya baca, sekolah terbuka ini memang belum dioptimalisasi keberadaanya. Dan saya
pun tidak tahu, apakah sekarang masih ada konsep sekolah terbuka seperti ini?
Padahal, dengan kemajuan teknologi
dan ilmu pengetahuan, Pembelajaran Jarak Jauh dengan model Blended Learning
(Online dan Offline) harusnya bisa dioptimalisasi dengan baik.
Helooo, ini udah tahun 2021 dimana
seorang bayi pun sudah punya akun tik-tok dan Instagram.
Peraturan dan Realita
Menurut saya, sebagai orang awam,
hanya seorang orang tua biasa, yang namanya peraturan adalah hal yang fleksibel,
seperti halnya peraturan yang saya terapkan di rumah untuk anak-anak saya. Kalau
ada masalah, ya saatnya monitoring dan evaluasi. Jika ada masalah, kita harus
temukan solusi agar semuanya bisa berjalan seadil-adilnya. Solusi masih
melahirkan masalah? Ya terus dicari akar permasalahannya sampai dapat dan buat solusi
lagi yang lebih baik.
Karena bagaimana pun, kita tidak boleh bertindak tidak adil bagi sebagian orang. Apalagi jika konteksnya pemerintah atau negara, tentu harus memberikan win-win solution bagi masyarakatnya.
Baiklah, itu saja opini saya
tentang PPDB yang menyeleksi anak berdasarkan usia, menurut saya hal ini justru
mengatasi masalah dengan masalah baru. Menyelamatkan yang putus sekolah, namun
membuat yang lain terancam putus sekolah.
Semoga pihak-pihak terkait bisa
segera menyelesaikan masalah ini. Ada komentar atau solusi lain? Yuk sharing di
kolom komentar.
*Biasakan diskusi yang membangun
ya, bukan saling menjatuhkan. Terima kasih.
No comments
Terima kasih telah berkunjung ke blog ini, silakan tinggalkan komentar yang baik dan positif ya :D