“Dasar generasi strawberry!”
Setelah membaca resume buku Strawberry Generation dan membaca motivasi Helmy Yahya yang syarat akan perjuangan hidupnya yang berliku, saya menyadari satu hal, yakni hari ini kita sedang menciptakan Generasi Strawberry.
Bukan hanya saya sebagai orang tua, guru pun merasakan hal yang sama. Semenjak mulai mengajar anak-anak di kelas rendah, guru menemukan banyak ‘keganjilan’
yang terjadi. Seperti anak yang cenderung kreatif namun mudah menyerah, anak
yang tidak mampu berkomunikasi untuk menyelesaikan masalahnya, ditambah orang
tua murid yang selalu ‘berpesan’ ini dan itu kepada sang guru setiap harinya.
Fix! Ini sih, Namanya generasi strawberry, yakni generasi
yang terlihat cantik dan indah diluar namun ternyata mudah rapuh di dalam.
Tidak ada definisi pasti tentang Generasi Strawberry ini,
namun beberapa kali Prof. Rhenald Kasali berkomentar tentang Generasi Strawberry
yang memiliki ciri-ciri kreatif, kritis, penuh rasa ingin tahu, namun mudah
menyerah, lemah akan tanggung jawab, tidak berorientasi pada solusi ketika
menghadapi masalah (menyalahkan faktor
lain) dan cenderung tidak mau mengandalkan dirinya sendiri.
Sama seperti opini-opini yang disampaikan oleh Prof. Rhenald
Kasali mengenai Generasi Strawberry, setiap saya membaca perjalanan hidup para public
figure, seperti motivasi Helmy Yahya, selalu ada benang merah antara
perubahan karakter generasi dari zaman ke zaman.
Generasi Strawberry tentu tidak terbentuk dengan sendirinya, pasti
ada yang membentuk sikap mental seperti ini. Siapa yang membentuk anak-anak
yang diduga menjadi Generasi Strawberry? Tidak lain dan tidak bukan, tentu kita,
para ORANG TUA.
Salah satu hal yang paling saya rasakan ketika menjadi
bagian dari elemen pendidikan anak di sekolah adalah banyaknya orang tua yang
selalu men-takeover atau mengambil alih semua urusan anak-anaknya di sekolah.
Ketika anak menghadapi masalah, orang tua segera maju untuk pasang
badan. Ketika anak diberi tugas, orang tua kerepotan untuk mengerjakan tugas
anaknya di rumah, sementara sang anak berleha-leha tak berfikir bagaimana
menyelesaikan tugas tersebut.
Ingat masalah orang tua yang melaporkan guru ketika sang
guru menegur anak yang tidak shalat? Ini adalah salah satu bukti bahwa
anak-anak saat ini mengalami pelemahan mental karena orang tua yang selalu siap
menjadi solusi berbagai permasalahan yang sedang dihadapi oleh anak-anaknya.
Baca juga: Anak Membuat Kita Tidak Bahagia?
Mencegah Anak Menjadi Generasi Strawberry
Salah satu tanggung jawab penting yang dimiliki oleh orang
tua adalah membentuk karakter anak sesuai dengan syariat Islam, berakhlaq
seperti Rosulullah SAW, dan tentunya memiliki mental kuat yang mampu diandalkan
di zaman sekarang ini.
Karena kita sebagai orang tua, tak pernah bisa menemani
anak-anak sepanjang hidup mereka. Kelak mereka akan dewasa dan kita pun akan
menua, maka mempersiapkan anak dengan baik dari segi karakter menjadi hal
utama.
Sedihnya, kebanyakan orang tua saat ini terlalu berfokus
menyiapkan anak dari segi materi (dana pendidikan, perawatan, pengasuhan anak),
tapi abai terhadap persiapan karakter anak untuk menyambut kehidupan dewasa
kelak. Hingga beberapa waktu lalu muncul kasus seorang anak yang kuliah di Fakultas Kedokteran, memutuskan untuk bunuh diri di dalam mobil. Hal ini tentunya harus
menjadi tanda tanya besar di benak setiap orang tua.
5 Skill yang Harus dimiliki Anak agar Tak Jadi Generasi
Strawberry
Melihat realita yang terjadi sekarang, saya sebagai orang tua
memiliki kesimpulan bahwa ada 5 skill dasar yang harus dimiliki anak agar tak
jadi Generasi Strawberry. Skill apa saja kah itu?
1. Skill Komunikasi
Komunikasi bukan hanya berbicara dan sekedar berucap
kata-kata. Komunikasi adalah salah satu cara manusia untuk menyampaikan gagasan,
ide, pendapat, perasaan, dll melalui sebuah media dan akan menghasilkan efek
tertentu.
Anak-anak harus dilatih berkomunikasi sejak dini, mereka
harus bisa menyampaikan apa yang mereka pikirkan dan rasakan dengan baik dan
benar. Sehingga tidak ada masalah tantrum yang berkepanjangan, salah paham/mis
komunikasi, dan respon yang salah terhadap sebuah komunikasi.
Ketika ada masalah, biarkan anak berbicara dan berkomunikasi
dengan baik. Misalkan ada konflik dengan temannya di kelas, biarkan anak
yang memulai komunikasi dengan temannya, mengutarakan pendapat dan perasaannya,
kemudian biarkan ia mendengar dan menyimak argumentasi dari teman yang sedang
berselisih paham dengannya.
Jangan selalu orang tua yang mengambil alih untuk mendamaikan,
untuk menyelesaikan masalah, atau bahkan tidak ingin berkomunikasi kepada pihak
yang bersangkutan terkait masalah yang terjadi (menghindari/lari dari masalah).
Komunikasi adalah salah satu hal yang penting, ketika anak
gagal berkomunikasi, maka ia akan gagal mengungkapkan apa yang ia pikirkan, apa
yang ia rasakan, jika ini terus berulang, maka bersiaplah akan ada bom waktu
yang meledak di kemudian hari.
Baca juga: Anak Kinestetik Baiknya diarahkan untuk Jadi Apa, ya?
2. Skill Negosiasi
Negosiasi adalah proses diskusi untuk menyelesaikan suatu
masalah agar tercapai solusi bersama. Ketika anak tidak pernah dihadapkan
kepada masalah, misalkan buku ketinggalan, tempat makan ketinggalan, salah
pakai seragam, berkonflik dengan teman, tidak mengerjakan tugas, maka anak
tidak akan pernah tahu cara untuk bernegosiasi dengan pihak lain yang
bermasalah dengannya.
Sebagai contoh ketika buku pelajaran anak tertinggal di rumah.
Biarkan lah anak ‘menaggung resiko’ kelalainnya tersebut. Jangan buru-buru
meminta orang tuanya untuk mengantarkan buku yang tertinggal ke sekolah.
Biarkan anak bernegosiasi dengan guru, “Apa yang bisa saya
lakukan ketika buku pelajaran tertinggal di rumah?” Kemudian akan muncul
beberapa pilihan, bukan? Meminjam buku teman secara bergantian, meminjam buku
di perpustakaan, dan lain sebagainya.
Ketika anak dihadapkan pada masalah kemudian ia bisa
bernegosiasi dengan orang atau keadaan yang sedang terjadi, maka ia akan belajar
untuk bertanggung jawab dan memahami bahwa setiap apa yang kita lakukan akan melahirkan
sebuah resiko.
3. Skill Manajerial
Setelah anak bisa berkomunikasi dengan baik, mampu bernegosiasi
dengan orang atau keadaan ketika sedang dihadapkan dengan sebuah masalah. Anak-anak
pun harus diajari skill manajerial. Bagaimana ia harus mengatur dirinya?
Bagaimana ia harus mengatur kegiatannya? Sebelum nanti ketika anak dewasa, ia
bukan hanya harus mengatur dirinya, melainkan mengatur orang dan keadaan di
sekitarnya juga.
Bagaimana ia bisa memenej orang lain atau lingkungannya
ketika ia sendiri tidak selesai dengan dirinya sendiri?
Contohnya adalah ketika menyiapkan buku, seragam, sepatu,
alat minum dan makan, biarkan anak yang mengatur semuanya sendiri. Biasakan
membuat jadwal untuk melakukan hal tersebut, dan tahu konsekuensi ketika hal
tersebut tidak dilalukan.
4. Skill Mengelola Emosi
Menurut Psikolog Paul Ekman, secara umum manusia memiliki 6
emosi dasar, yaitu terkejut, takut, marah, senang, jijik, dan sedih. Banyak
sekali seminar parenting yang membahas soal mengelola emosi ini, emosi itu
bukan hanya marah, emosi banyak macamnya dan bagaimana cara menyalurkannya?
Terkadang orang tua tidak mau repot ‘menghadapi’ emosi anak,
sehingga menggunakan jalan pintas untuk menutup aliran emosi tersebut. Padahal
ketika anak tidak memiliki kemampuan menyalurkan emosi dengan benar sejak
kecil, maka ia akan kesulitan mengelola emosinya hingga ia dewasa.
Padahal di dunia orang dewasa, kegaduhan akibat emosi
manusia ini akan sangat riuh sekali. Apalagi ketika anak sudah berada di lingkungan
tertentu, jika ia tidak bisa mengelola emosinya sendiri, ia akan sibuk
menyalahakan keadaan, seperti ‘lingkungan toxic, orang toxic, dll’
Mungkin saja, bisa jadi, bukan lingkungan atau orang yang toxic,
melainkan anak yang tidak bisa ‘membawa diri’ dengan meregulasi emosinya dengan
baik. Saya selalu yakin, orang yang sudah ‘selesai’ dengan dirinya, akan mudah
mengatasi emosinya sendiri dan tidak mudah terpengaruh dengan limpahan emosi
dari orang lain yang tidak pada tempatnya.
5. Skill Menyelesaikan Masalah
Semua skill yang sudah saya sebutkan di atas bagai irisan
yang mendukung satu sama lain. Saya yakin skill yang satu ini pun menjadi salah
satu akumulasi ketika anak sudah memiliki keempat skill yang sudah saya
sebutkan tadi.
Kebanyakan orang ketika menghadapi masalah, akan cenderung
membela diri, menyalahkan diri sendiri, atau menyalahkan orang lain. Padahal ketika
seseorang menghadapi masalah, hal yang seharusnya menjadi tujuan adalah
penyelesaian masalah yang berorientasi pada SOLUSINYA.
Ketika orang tua selalu mengambil masalah anak-anaknya,
kemudian menyelesaikannya tanpa berdiskusi dengan anak, saya rasa anak tidak
akan pernah tahu dan bisa menghadapi bahkan mencari solusi sendiri terhadap
masalahnya.
Di kurikulum Merdeka yang sekarang berlaku secara nasional,
anak-anak dituntut kreatif, inovatif, dan mengeksplor minat dan bakatnya. Ketika
hal ini dilakukan, tentunya tidak akan mulus-mulus saja, pasti ada tantangan,
masalah, dll. Anak harus bisa berpikir kritis sepaket dengan kemampuan mencari
solusi. Jangan hanya diminta berpikir kritis, namun ketika ada masalah, orang
tua ikut men-take over masalahnya.
Baca juga: Mengatasi Hambatan Belajar pada Anak dengan Online Learning
Begitupun ketika anak berkonflik dengan temannya, sebisa mungkin
biarkan lah anak yang menyelesaikan masalah mereka sendiri. Karena nanti pada
akhirnya, di masa dewasa, ia akan menerima pahitnya konflik, kegagalan,
masalah, kekecewaan, dan lain sebagainya.
Biarlah anak tahu bahwa apa yang ia inginkan dan sesuatu
yang ideal itu tidak mudah digapai, harus ada usaha untuk meraihnya dengan
skill komunikasi, negosiasi, manajerial, mengelola emosi, dan juga skill
menyelesaikan masalah demi masalah.
***
Jangan sampai kita membentuk anak menjadi Generasi Strawberry yang justru akan membuat mereka kesulitan di masa depan kelak, ketika tangan kita tak mampu lagi mendorong mereka, ketika kita sudah tak memiliki kekuatan untuk selalu menjadi tameng bagi mereka.
Akan kah kita membiarkan anak-anak kita menjadi generasi yang lemah? Atau sebaliknya, kita akan menjadi orang tua yang mengantarkan mereka menjadi manusia kuat yang siap berkontribusi untuk kesuksesan peradaban manusia?
betul... betul... betul... kudu tegas mengasuh anak. Biarkan dia merasakan masalah dan mencoba menyelesaikannya. Jangan buru-buru ambil alih yaa kecuali memang dalam kondisi bahaya. Kenalkan anak pada tokoh-tokoh muslim yang kuat, tangguh, tak mudah menyerah.
ReplyDeleteMba Tety bener sekali. Aku selalu sampaikan ke anakku juga bahwa ummi tak bisa selalu menemani kalian. Makanya kalian harus bisa mandiri dan sepakat untuk mengajarkan kelima skill itu
ReplyDeleteZaman dulu mah justru orang tua nambahin marah sama anaknya kalau memang si anak bersalah ya. Eh, sekarang kebalikannya. Mental lemah bisa jadi didikan di rumah yang super slow dan memanjakan anak, istilahnya yang penting anak bahagia. Duh, semoga anak2 kita jangan begini, generasi stroberi ya...ngeri.
ReplyDeleteHmmm...naudzubillah min dzalik, jangan sampai anak-anak kita menjadi generasi strawberry ya mba. Jadi teringat, beberapa waktu lalu jadi ketua tim dan kerja dengan anak-anak muda. Beberapa diantaranya juga gini mba..kurang punya inisiatif dan mudah nyerah, sedih banget karena harus backup beberapa pekerjaan yang nggak perlu
ReplyDelete