Copyright by tettytanoyo. Powered by Blogger.
Showing posts with label Opini. Show all posts

Anak Membuat Kita Tidak Bahagia?

 


"Punya anak bikin gak bahagia?"

"Siapa yang bilang?"

"Siapa lagi kalau bukan yang paling Child Free? Gita Savitri."


Hadeuh, dia again dia again yang 'berulah' di media sosial, seakan-akan terus menerus memaksakan bahwa pemikirannya itu  benar, lagi nyari validasi bahwa pemikiran dia paling rasional dan open minded.

*Asli, sih udah males nulis tentang ini, makin terkena aja entar dia enak bener, wkwkwk


Saya sampe pernah bikin live IG tentang Childfree di Instagram, mengundang ustadzah supaya bisa clear membahas tentang masalah ini.


Kamu bisa nonton di tautan berikut ini:

https://www.instagram.com/p/CS1TA34lvvQ/


Sebenernya, silakan saja kalau mau Child Free, tapi tolong JANGAN DIKAMPANYEKAN KE GENERASI MUDA, yang akhirnya mereka jadi TAKUT MENIKAH DAN TAKUT PUNYA ANAK.

Sekarang, kamu kembali lagi bikin statement yang bikin sakit hati ibu-ibu sedunia, yang bilang kalau punya anak itu BEBAN dan bikin TUA.

10 Kriteria Suami Idaman (Anti KDRT) Seperti ASUS ROG Phone 6, Emang Bisa?

 asus rog phone 6 blog


Bruk! Prak!


Seorang wanita berlari tergopoh hingga menabrak pintu rumah. Seketika, ia buka pintu tersebut dan berlari tanpa alas kaki. Keringat dingin deras mengucur membasahi wajahnya. Kaos oblong lusuh ia pakai sesekali untuk menyeka keringatnya. 


Sambil terus berlari tanpa arah dengan penuh ketakutan, Ia meninggalkan rumahnya yang sudah hancur berantakan. Piring, gelas, kompor, dan perabot dapur lainnya sudah menjadi puing di dalam rumah yang selama ini ia tempati bersama suami dan anak-anaknya.


Di belakang wanita tersebut, seorang lelaki berlari mengejar membawa golok, sambil berteriak dengan keadaan setengah mabuk, ia memanggil nama perempuan tersebut dan bersumpah serapah.

 

“Eh, jangan lari lu, cepet ke sini! Gue bilang berhenti! Dasar perempuan gak tau diri!”

 

Ibu Rumah Tangga Bisa Terjebak Toxic Productivity?

 



"Kok aku ga produktif banget, ya?"

"Ibu rumah tangga lain kok bisa sih, bikin konten terus? Bikin blog, vlog, postingan instagram?"

"Apa aku males, ya?"

"Apa aku gak bisa atur waktu, ya?"

Familiar dengan kata-kata seperti di atas? Merasa gagal produktif setiap hari, merasa gak bisa atur waktu? seakan orang lain bisa menghasilkan banyak karya sedangkan kita ngga?


Mungkin saja, kamu (sebagai ibu rumah tangga) terjebak dalam toxic produktivity. Akhir-akhir ini, saya sering mendengar istilah ini di media sosial, karena penasaran, saya cari informasinya di google dan media sosial.




Apa itu Toxic Productivity?

“Toxic productivity adalah keinginan tidak normal untuk menjadi produktif setiap saat. Namun, produktivitas yang berlebihan justru bisa menyebabkan burnout dan mengganggu kesehatan mental yang malah membuat kamu menjadi kurang produktif. Dengan mengenali tanda-tandanya dan berusaha untuk meluangkan waktu untuk beristirahat, toxic productivity bisa diatasi.”

Whatsapp Group antara Kebutuhan dan Pendidikan Karakter Anak #Opini



Halo! Assalamu'alaikum


Annyeong, yeorobun!

Bagaimana kabarnya teman-teman on line-ku? Mudah-mudahan kabarnya baik di hari Selasa ini. Jujur sekali, semenjak tahun ajaran baru dimulai, dengan dua anak bersekolah dasar, saya merasa sangat lelah dan over load informasi.


Karena apa? Karena Whatsapp Group bertambah lagi dua buah (Handphone semakin lambat, sering hang, dan mulai memanas, hahaha).


Setiap kelas, pasti memiliki dua grup. Satu grup bersama sekolah dan wali kelas, satu lagi grup yang berisi wali murid saja. Sejak tahun ajaran baru, otomatis ada dua Whatsapp Group sekolah, dua milik kelasnya Kifah dan dua lagi milik kelas Aldebaran.


Dengan dua grup memiliki logo yang sama (logo sekolah) kadang saya merasa 'pusing' membacanya, entah kadang tugas yang ada di grup kakak, malah saya lakukan untuk adik, atau pun sebaliknya. Ke-hectic-an ini benar-benar membuat saya lelah, notif yang terus menerus, pemberitahuan penyimpanan handphone yang penuh, membuat saya putar otak untuk menghapus berbagai aplikasi, foto, file, dll. Fiuhh.


Adakah yang merasakan yang sama dengan saya?

Ketika Ibu Kelelahan

 


Pernahkah di suatu hari, kita merasa sangat kelelahan? Padahal kita sudah beristirahat, sudah makan, sudah tidur, sudah melakukan hiburan sejenak, namun lelah itu tak kunjung pergi. Kemudian kita menjadi gak mood, mudah marah, sensitif, sedih dan lainnya?


Kalau iya, kemugkinan kita sedang mengalami yang namanya PARENTAL BURNOUT.

 

Apa itu Parental Burnout? Parental Burnout merupakan kondisi yang dialami oleh orang tua ketika merasakan kondisi kelelahan secara fisik maupun mental. Banyak orang tua yang MENGABAIKAN kondisi tersebut karena merasa bersalah atau malu mengakui bahwa ia mengalami kelelahan. Namun, Parental Burnout yang tidak diatasi justru dapat mempengaruhi pola asuh yang diterapkan pada anak (Halodoc).




Ciri-ciri umum ketika kita sedang mengalami Parental Burnout adalah:


1.Sedih berlebihan

2.Merasa tidak dicintai

3.Mudah marah/sangat sensitif

4.Mudah stres dan kebingungan

5.Sudah beristirahat namun terasa masih lelah dan ada pikiran yang mengganjal


Saya sendiri beberapa kali  mengalami yang namanya Parental Burnout. Karena dengan kondisi tiga anak laki-laki tanpa asisten rumah tangga, hari-hari saya dipenuhi berbagai macam kesibukan yang terus menerus bagai tanpa akhir. Seperti mengasuh anak dengan berbagai problematikanya, membersihkan rumah, memasak, mencuci, semua saya lakukan sendiri.

Pengalaman dalam melewati kondisi seperti itu (Parental Burnout) menjadi catatan tersendiri bagi saya, untuk saya ingat dan saya cari solusinya.

 

Berdasarkan pengalaman, beberapa hal berikut ini yang saya lakukan ketika mengalami Parental Burnout.


1.’Menjauhi’ Anak-anak



Kalau ibu sedang lelah, hal yang paling kelihatan adalah sikap kepada anak atau pasangan. Biasanya ke anak lebih mudah marah, emosi, dll. Padahal ‘Trigger’ marahnya gak seberapa.

Kalau sudah seperti ini, biasanya saya ‘menjauhi’ anak-anak dulu untuk sementara waktu. Gak main bareng dulu, atau gak belajar bareng dulu. Pokoknya target-target kegiatan anak dicancel dulu sampai waktu yang tidak ditentukan, wkwkwk.

Gak perlu idealis, yangpenting anak-anak ‘ga jadi korban’ pelampiasan rasa lelah ibunya.

 

2.Tidur




Tidur merupakan hal yang sangat istimewa buat ibu-ibu, lho. Ya, nggak?


Apalagi kalau punya bayi, tidur itu MEVVVAAAHHHH sekali. Makanya, kalau ada kesempatan buat tidur, baik itu tidur bareng anak atau nitip anak-anak ke bapaknya sebentar, mending istirahat dengan jalan tidur ajaaa.


Tidur pun kadang masih suka halu ya ngedenger suara bayi ya atau anak, wkwkwk. Sabar ya Buibu, tapi kita memang harus berusaha beristirahat dengan tidur yangberkualitas. Supaya bisa refresh lagi.

 

3. Gak Main Sosmed




Biasanya, kalau mood lagi gak bagus, lagi capek/Burn Out, kalau liat postingan orang lain, atau postingan yang bersebrangan dengan suasana hati, bawaannya suka sensi dan emosi. malah kadang jadi julid sama orang lain, hahaha.


“Ih, ok bisa, sih, dia produktif banget? Ih kok bisa sih kayaknya ajak main anaknya terus?”


Nah, daripada julid, nyinyir, marah, lelah, lebih baik PUASA SOSMED dulu untuk sementara, sampai keadaan diri kita membaik dan siap melihat realita kehidupan kembali.

 

4. Melakukan Hobi yang tertunda




Hobi ini tentu beragam ya, ada yang hobinya bisa dilakukan di rumah aja, ada yang harus keluar rumah, semua sih sah-sah saja menurut saya.


Saya sendiri lebih suka keluar rumah sebenernya, jalan-jalan atau muter-muter aja keliling naik mobil. tapi selama pandemi ini jadi terbiasa di rumah aja.

 

Di rumah seringnya baca buku lama, kalau lagi gak ada buku baru, nelepon temen, foto-foto, masak atau beli makanan kesukaan. tapi ya paling enak beli sih, jajan tipis-tipis buat nyenengin hati. Selain itu, saya biasanya juga nonton film yang bisa ditonton via HP atau Laptop. Kadang-kadang juga main game yang saya download di HP. Dulu sih sukanya main ONET sama POU, wkwkwk.


Kalau sekarang, saya bisa main game online juga yang sederhana aja, bukan yang susah macam Mobile Legend atau FF yak, haha. Main game onlinya bisa di Plays.org. Saya paling suka mainan jadul macam tetris, tembak-tembakan, wkwkwk mainan pas bocah dulu yang ada di Game Bot itu loh.


Tapi, di Plays.org ini banyak juga mainan lainnya yang gak kalah seru. Banyak game kekinian yang bisa dimainkan untuk sekedar mencari hiburan, atau pun game yang bertema edukasi, seperti game yang saya mainkan di bawah ini. 


Ini adalah game tentang Geografi (karena dulu saya suka Geografi). 











5. Diam saja




Kadang, diam atau ngahuleung juga bisa jadi obat capek. Diam sambil rebahan, sambil nonton TV, nonton drama, ya intinya gak kepengen banyak pikirann gitu.


Tapi kalau nonton film yang alurnya bikin pusing dan pensaran, malah nambah beban pikiran deh, hehehe. Cari genrenya lebih baik yang komedi, komedi romantis atau film keluarga aja. Kan gak berat dan gak jadi beban pikiran baru buat kita.

 

Diam saja, juga kadang bisa membuat kita berkontemplasi, merenung, dan melakukan REFRAMING kembali pelan-pelan.


Selain itu, ketika ibu sedang Burn Out, baiknya sih ini jangan dipendam ya. Justru kita ceritakan kepada suami. Karena suami kita adalah orang terdekat yang harus menjadi garda terdepan dan siap siaga ketika terjadi sesuatu pada diri kita. Bahkan hal yang telihat ‘sepele’ seperti kelelahan ini.


Ceritakan kepada suami atau pasangan kita, apa yang sedang kita rasakan, dan meminta tolong untuk menjadi bagian dari solusi.


Saya selalu bilang kepada suami, bahwa tugas rumah tangga itu gak terlalu berat, karena mereka benda mati yang bisa ditunda atau diurus kapan saja, sebisanya. Berbeda dengan mengasuh anak, itu yang paling membuat saya sangat kelelahan. Misal ketika saya sedang ngantuk berat dan ingin tidur, tiba-tiba anak  menangis pengen makan, main, ke kamar mandi. Disitu saya merasa lelah yang sangat/Burn Out.


Maka dari itu, saya meminta suami agar membantu saya menjaga anak walau hanya sebentar saja, karena saya harus menuntaskan kelelahan saya dulu dengan istirahat atau dengan ‘Me Time’ sejenak. Karena kalau tidak, dampaknya akan kemana-mana dan berkepanjangan, saya jadi emosian dan sensitif sekali untuk menjalani hari-hari.


Dalam masyarakat Patriarki seperti di Indonesia ini, memang tidak mudah ya meminta bantuan suami, karena dianggap kurang sopan, apalagi ada yang melihat suami kita membantu mengasuh anak, bisa jadi bahan pergunjingan dan pergibahan, betul? Karena dianggap tidak lazim atau tidak lumrah, seorang bapak mengasuh anak.


Kita bener-bener harus ‘klop’ dengan suami dan bisa berkomunikasi serta berbagi tugas dengan baik. Toh dalam Islam pun, tugas mengasuh anak bukan hanya tugas seorang istri, namun kerja sama yang sinergi bersama dengan suami.




Support pasangan ketika kita sedang Burn Out/lelah, mudah marah atau emosian, bisa dalam bentuk:

1.Membantu dalam hal yang ada kaitannya dengan anak. Misal ikut membantu memandikan atau mengajak anak bermain.

2.Menjadi ‘air/oase’ ketika ibu sedang marah/emosinya sedang menjadi-jadi.

3.Memberikan apresiasi kepada ibu. Misal dengan memberikan hadiah untuk ke salon, spa atau beli baju di Mall/E-commerce. Wih, dijamin hilang deh tuh lelahnya wkwkwkwk.

 

Sebuah pengakuan dosa, nih.


Duluuuu, iya duluuu, saya tuh jadi ibu idealis banget. Semua harus perfect, terutama dalam pengasuhan anak dan pengaturan rumah tangga. Tapi jujur itu semua membuat saya mudah Burn Out dan tersiksa sendiri. Akhirnya saya menemukan ritme dan formulasi yang tepat. Bahwa kita harus mengakui bahwa kapasitas kita terbatas, gak apa mengakui kalau kita ini banyak kurangnya, kita ini bukan super mom. Dan kita ini sangat boleh beristirahat dan menjeda rutinitas kita.


Karena ibu yang bahagia, sehat jiwa dan raganya, akan bertumbuh dengan anak-anak yang bahagia pula.


Setuju?


Post Power Syndrome



Sebenernya mau nulis ini tuh 10 tahun yang lalu, namun apa daya, aku tak tau harus nulis dimana waktu itu. Belum punya blog, dan gak tau harus menyuarakan isi hati ke siapa. Sampai akhirnya, 10 tahun selanjutnya saya baru nulis tentang ini. Yaitu sekarang, wkwkwk.


Entah kenapa, saya pengen nulis dengan judul Post Power Syndrome, jadi perasaan yang paling menggambarkan saya waktu itu ya Post Power Syndrome ini. 


Post Power Yyndrome atau sindrom pasca kekuasaan adalah kondisi ketika seseorang hidup dalam bayang-bayang kekuasaan yang pernah dimilikinya dan belum bisa menerima hilangnya kekuasaan itu. Post Power Syndrome sering dialami oleh orang yang baru saja memasuki masa pensiun. ( Alodokter).


Biasanya, PPS ini dialami oleh para pensiunan ya, yang sudah tidak lagi bekerja atau punya kekuasaan/jabatan. Jadi di sini saya hanya pinjem istilahnya aja, karena saya merasa ada gejala yang mirip, walau memang gak semuanya. Seperti, kurang bergairah dalam menjalani kehidupan. Merasa hampa, merasa gak berguna, gak punya teman, gak punya prestasi, dll.


Nah, kalau saat ini, istilah tepatnya kalau untuk saat ini yaitu insecure mungkin ya. 


Insecure adalah perasaan cemas, tidak mampu, dan kurang percaya diri yang membuat seseorang merasa tidak aman. Akibatnya, seseorang yang insecure bisa saja merasa cemburu, selalu menanyakan pendapat orang lain tentang dirinya, atau justru berusaha memamerkan kelebihannya. (Alodokter)


Ya, rasa ngga percaya diri, minder, hampa, jenuh, gak bergairah, kurang pergaulan, ketinggalan dari orang lain dll. Perasaan itu hinggap pada diri saya 10 tahun yang lalu, setelah saya menikah dan punya anak.


Kehidupan yang Berubah




Kenapa saya menyebutnya ‘Post Power Syndrom’ karena dulu saya aktif di sekolah, kampus, dan lain-lain. Saya merasa dulu saya punya tempat beraktualisasi diri, punya teman diskusi, bisa menyalurkan kreativitas, dll. Sementara setelah punya anak, hal itu semua berasa terhenti.


Saya gak punya tempat aktualisasi diri, gak ada tempat menampung kreativitas, gak punya teman diskusi selain suami, dan merasa ketinggalan oleh teman-teman yang mungkin sudah bekerja atau berkarir dengan baik. Sementara saya di rumah ya gini-gini aja, ngerjain hal yang sama setiap hari, gak ada teman untuk berbagi (teman di sini adalah teman sesama perempuan yang bisa saling support atau minimal saling mendengar curhat/isi hati).


Ya mungkin kita punya suami, atau keluarga suami, tapi saya merasa tetap ada yang beda ketika saya diskusi dengan teman sesama perempuan seperti di kampus dulu. Dan mungkin kalau pun kita punya saudara atau tetangga, ada kalanya kita ga sefrekuensi dan gak nyambung untuk ngobrol hal yang lain, hal yang ingin kita diskusikan.


Yaps, kejenuhan, lingkaran pertemanan yang terbatas, membuat saya merasa sangat down, serasa Post Power Syndrome, berasa insecure, berasa gak berharga, dll. Dan hal itu saya rasakan cukup lama, hingga saya bisa bangkit dan mencoba mengobatinya sebisa yang saya lakukan dengan keterbatasan-keterbatasan saya saat itu.


Penerimaan




“Ayo dong, move on, move one!”


Ya, itu mungkin suara hati saya dulu, tapi saya masih blank gimana caranya move on. Aktivitas saya terbatas di rumah, teman-teman saya jauh berkurang, dan itu pun paling bisa saya hubungi secara on line aja.


Pernah saya coba, macam ikut pengajian ibu-ibu komplek, arisan RT, aktivitas di lingkungan tempat tinggal seperti Posyandu, PKK, dll. Tapi tetep aja, saya merasa “Ini gak gue banget, dunia gue gak di sini”.


Walau kadang saya merasa, oh mungkin ini saatnya saya ‘hijrah’ ke kehidupan baru, tapi hati saya masih belum bisa sreg, masih belum bisa enjoy menjalani itu semua, saya masih berusaha mencari, apa sih yang saya suka? Apa sih passion saya? Mungkin gak sih saya berbaur dengan masyarakat yang heterogen secara usia, latar belakang, dll? 

Itu pikiran-pikiran saya dulu, ya. Bener-bener mencari cara untuk mengaktualisasi diri, mencari kembali ruang untuk saya bertumbuh dan berkembang. Tapi ya dengan segala lika-likunya, saya belum bisa 100% mendapatkan ‘kehidupan’ saya kembali.


Bertahun-tahun itu saya mencoba menerima, berusaha belajar, bahwa saya gak bisa berjalan ke belakang, mau jadi mahasiswa aktif seperti dulu lagi, itu udah gak akan mungkin terjadi. Saya juga gak bisa berkarakter seperti dulu lagi, yang bisa mencurahkan hidup untuk organisasi, dll. Hari ini saya punya tanggung jawab lain yang harus saya lakukan, yakni keluarga, anak dan suami saya.

Saya gak bisa bergaya hidup seperti layaknya sin gelillah dulu, kan? 


Lambat laun, saya mencoba menerima, walau memang tetap sulit juga, karena saya masih melihat  bahwa banyak teman-teman yang bisa berkembang di luar sana, mereka berkarir, menjadi guru, dosen, karyawan, dll. Saya tetap berusaha mengatasi perasaan-perasaan itu, sambil mencoba bangkit.


Saya rasa, fase penerimaan/accepting ini sangat perlu waktu. Bukan karena kita gak ikhlas menjadi Ibu Rumah Tangga, tapi memang menikah itu perubahan besar dalam hidup, kita sebagai manusia biasa tentu harus beradaptasi dan belajar menerima perubahan besar itu. Gak bisa dipungkiri, semua orang berproses, dan kita gak bisa memprediksi berapa lama proses itu terjadi?

Sebentar kah? atau bahkan seumur hidup kah? Dan kita sama sekali tidak bisa menjudge proses yang dialami oleh setiap orang.


Menurut saya, penerimaan atau accepting ini proses panjang. Saya pun masih sangat berproses hingga saat ini, bahkan hingga 10 tahun. Toh kita bukan robot, yang tinggal ganti program/soft warenya aja, maka semuanya bisa langsung berubah. We will take times, dan saran saya, nikmati aja semua proses itu dengan apa adanya. Kita gak perlu menjadi orang lain, kita gak perlu berlagak sempurna, berlaga seperti gak ada apa-apa. Kalau kita merasa gak percaya diri, merasa ketinggalan, merasa insecure, atau apapun itu, jangan segan untuk bicara ke suami atau orang/sahabat yang kita percaya.


Karena menurut saya, semakin kita berusaha ‘membuat topeng’ seakan kita baik-baik saja, ingin keliatan sempurna, itu akan semakin menyakiti diri kita sendiri.


Adaptasi


Sama dengan proses penerimaan, proses adaptasi pun gak mudah. Ketika saya punya anak pertama, beradaptasi dengan ritme hidup saya sendiri pun sulitnya bukan main. Awalnya saya gak harus ngurusin orang lain, tiba-tiba 24 jam harus mengurus bayi. Jam tidur berantakan, jadwal makan, jadwal pergi keluar rumah, semuanya gak ada yang bisa diprediksi. Belum lagi kalau anak sakit, lelahnya bukan main.


Menurut saya, jadi ibu atau istri itu adaptasi yang sungguh luar biasa, dan sekali lagi, perlu proses yang panjang, smooth, dan sesuai dengan diri kita apa adanya. Adaptasi ini memang sangat berat, karena kita benar-benar dididik dengan berbagai macam masalah dan keadaan. 


So, kalau ada yang pernah denger cerita ibu yang terkena Baby Blues atau Post Partum Depretion, itu bener-bener kita dituntut untuk bisa menjadi teman terbaik untuk mereka, jangan menghakimi, jangan menjudge, karena beradaptasi menjadi seorang ibu itu sangat tidak mudah. Thats why, menikah adalah ibadah yang paling lama, dan menjadi ibu adalah jihad yang luar biasa.


“You takes many risk for your life, and you learn to survive”


Know Your Self (Maksimalkan Peran, Maksimalkan Potensi)




Bertahun lama saya mencari, apa sih yang saya suka? Apa yang bisa saya lakukan untuk ‘menyelamatkan’ hidup saya? Hingga singkat cerita, tahun 2014 saya buat blog ini. Saya cari banyak hal di internet, karena itu adalah hal yang bisa saya lakukan saat itu. Akhirnya saya bertemu dengan komunitas Emak Blogger (Thank you KEB) dan saya beranikan diri memperkenalkan diri di komunitas tersebut, nulis blog alakadarnya, dan gak tau mau nulis apa. I Just do it, what I can do it.


Dari blog ini akhirnya ada secercah harapan waktu itu, saya mulai berkomunitas, mengenal para blogger, membaca kisah hidup banyak orang di blog mereka. Dan hal itu membuka wawasan saya tentang banyak hal.


Saya juga coba ikut lomba blog. Seringnya tentu kalah, tapi ada suatu ketika tulisan saya menang lomba beberapa kali. Banyak hadiah yang dikirim ke rumah, dan banyak teman blogger yang mengucapkan selamat.


Oh, Wow! ternyata memang bener, selama ini saya butuh ruang kreativitas, ruang diskusi, dan apresiasi dari orang lain. Bukan untuk sombong atau gimana ya, tapi saya merasa ketika tulisan saya menang lomba, diapresiasi orang lain, ada semacam kekuatan yang muncul, bahwa saya gak selemah seperti yang saya pikir sebelumnya. Saya bisa berkarya, saya bisa bersuara.


Dua hal yang saya ambil dari pengalaman saya adalah “Maksimalkan Peran, dan Maksimalkan Potensi”


Dua hal ini yang saya pegang hingga saat ini.


1.Maksimalkan Peran

Sekarang saya sudah jadi ibu, setiap hari ada di rumah, dan saya harus  memaksimalkan peran saya ini. Saya gak perlu berangan-angan, seandainya saya jadi dosen, seandainya saya jadi ini, jadi itu, yang saya perlu lakukan adalah memberikan dan melakukan yang terbaik untuk apa yang saya jalani saat ini. 


Saya jadi ibu, waktu saya banyak untuk mereka di rumah. Ya, ini saatnya saya memberikan yang terbaik, yang saya punya, untuk mereka. Karena toh, setiap orang tidak akan pernah bisa mencapai kesempurnaan. Jadi buat apa kita meratapi setiap kekurangan?


2.Maksimalkan Potensi

Saya merasa saya punya potensi yang saya miliki sejak kecil dulu. Saya senang belajar, berdiskusi, bersosialisasi, berorganisasi, dll. Saya punya kemampuan mengakses internet, saya punya kemampuan berkomunikasi, saya bisa membuat ide-ide baru, saya bisa berkreasi, dsb.


Ketika saya sadari saya punya itu, maka saya harus memaksimalkan apa yang saya punya. Gak perlu semuananya, karena sekarang saya memiliki tanggung jawab lainnya. Saya hanya memilih apa yang paling saya suka, dan maksimalkan di situ supaya saya bisa mengaktualisasikan diri.


Support System




Support System adalah hal yang paling dasar yang harus kita miliki, karena tanpa itu ya akan sulit bagi kita untuk bangkit. Komunikasi kepada suami, anak dan keluarga sangat penting, apa yang kita fikirkan, apa yang kita inginkan, apa visi dan misi yang ingin kita gapai, tentu harus tersampaikan dengan baik. 


Alhamdulilah akhirnya masa-masa itu terlewati, dan saya sekarang senang menjalani hobi menjadi seorang Blogger dan Social Media Enthusiast. Karena saya akhirnya bisa sharing, mendapatkan apresiasi, dan juga bonus materi, hehehe.


Apa Mama pernah merasakan hal yang sama? Yuk, sharing di kolom komentar


PPDB Seleksi Usia, Mengatasi Masalah dengan Masalah

 



PPDB Seleksi Usia, mengatasi masalah dengan masalah


***


Daftarin anak ke sekolah di usia lebih tua agar lebih siap (NO)

Daftarin anak ke sekolah di usia agar bisa masuk ke sekolah negeri (YES)

 

Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo mengakui bahwa ada sejumlah orangtua mempermasalahkan kriteria usia yang dijadikan pertimbangan dalam sistem PPDB. Kebijakan mengenai kriteria usia, lanjut Heru, merupakan bagian dari pembangunan sumber daya manusia dalam Sustainable Development Goals (SDGs).

Heru menjelaskan, tujuan dari penambahan kriteria usia dalam PPDB DKI Jakarta yakni agar siswa dari kalangan tidak mampu dan tertinggal bisa menikmati fasilitas pendidikan yang lebih baik dan memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang di masa depan. “Gubernur memprioritaskan anak-anak yang berusia lebih tua yang tertinggal serta sekolah di pinggiran untuk bisa masuk di sekolah negeri dan menikmati fasilitas pendidikan,” imbuhnya.


Sumber: 
https://mediaindonesia.com/humaniora/322211/kriteria-usia-dalam-ppdb-demi-pemerataan

 

Setaip tahun, tepatnya di tahun ajaran baru, di timeline facebook maupun sosial media lainnya pasti terjadi kekisruhan soal PPDB online. Isinya rata-rata adalah bentuk protes orang tua yang anaknya tidak bisa masuk ke sekolah Negeri karena tidak masuk kriteria usia. Hal ini tentunya menjadi sebuah keresahan, bagi kami selaku orang tua. Walau pun saya belum merasakannya langsung, namun, 2 tahun lagi, saya harus mendaftarkan anak saya ke Sekolah Menengah Pertama.

 

Banyak orang tua yang mengeluh, karena anak-anak mereka tidak bisa masuk ke sekolah negeri karena usia yang masih muda. Sementara, para pendaftar lainnya berusia jauh lebih tua, dan diprioritaskan masuk ke sekolah negeri tersebut.

 

Contohnnya pada kasus pendaftaran usia SMA, batas maksimal usia yang diperbolehkan adalah 21 tahun untuk masuk ke Sekolah Menengah Atas. Ketika para pendaftar dengan usia mendekati 21 tahun jumlahnya lebih banyak, otomatis, anak yang berusia 14-16 tahun tidak bisa masuk, kerena kuotanya sudah habis!

 

Merujuk pada pernyataan Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo, pendaftaran sekolah negeri, seleksi berdasarkan usia ini diharapkan bisa menjadi solusi atas masalah anak-anak yang putus sekolah atau kaummiskin, agar bisa menikmati fasilitas pendidikan yang berkualitas.

Namun, nyatanya, peraturan ini membuat anak-anak yang berusia lebih muda (14-16 tahun, usia normal anak masuk SMA) terancam putus sekolah juga! Kalau sudah begini, menurut saya, sama seperti mengatasi masalah dengan masalah baru.

 

Kalau saya mencoba berpikir sendiri, solusi yang bisa diambil adalah:

 

1.Menunggu tahun berikutnya,agar usianya nambah lagi satu tahun.

2.Sekolah di sekolah Swasta aja, karena kemungkinan besar akan diterima.

 

Akan tetapi, jika pemerintah ‘memberikan’ solusi seperti ini, tidak semua orang tua bisa melakukannya.

Pertama, menunda sekolah anak itu bukanlah hal yang mudah. Bagaimana dengan semangat dan motivasi belajarnya? Apa yang anak harus lakukan di masa menunggu? Dan masalah lain yang akan muncul kemudian.

 

Kedua, dari sisi ekonomi. Tidak semua orang tua mampu menyekolahkan anak ke sekolah swasta, mengingat biayanya yang tidak murah. Kalau sudah begini, bukankah bisa memicu anak menjadi putus sekolah?

 

Lalu, dimana letak keadilan bahwa pendidikan adalah hak semua anak, sesuai dengan Undang-undang:


Pada pasal 9 (1), UU 23/2002 dikatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya

 

Hmmm, sementara definisi anak menurut undang-undang adalah:


UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAKDalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: ... Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

 

Gimana dong yang usianya sudah 21 tahun???

 

Bagaimana Solusinya?

Saya sendiri memikirkan beberapa hal yang bisa dilakukan, agar akses pendidikan merata bagi seluruh masyarakat Indonesia.


1.Menambah jumlah sekolah, sesuai dengan data anak berusia sekolah di wilayah tertentu. Menambahkan kuota pendaftar peserta didik baru, tanpa menambah jumlah sekolah, sama seperti sebuah bis yang ingin mengangkut banyak penumpang, tapi kursinya gak ada penambahan, ya gak bisa ikut semua akhirnya.


Solusinya, menunggu bis gratis lain? Atau pakai bis lain yang pakai tiket/tarif lebih mahal.

 

2.Menurunkan range batasan usia anak, jangan sampai 21 tahun. Karena semakin besar range-nya tentu makin banyak jumlah pendaftarnya.

 

Lalu, bagaimana dong untuk pemerataan pendidikan anak-anak yang putus sekolah? Terutama yang sudah menginjak 17+ ?

 

3.Maksimalkan program kesetaraan atau paket C, dong!


Paket C (kejar paket C) adalah pelayanan pendidikan pada jenjang menengah kejuruan melalui jalur non formal. Program paket C merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat usia sekolah dan usia dewasa yang karena berbagai sebab tidak melanjutkan pendidikan.

 

Jadi, kalau dilihat dari definisi di atas, sebenernya, untuk usia yang sudah dewasa, bisa mendapatkan pendidikan pada program kejar paket C. Nah, program paket C ini bisa dikembangkan menjadi lebih baik tentunya.

 

Saya ingat, ketika SMA dulu, ada SMA kelas terbuka untuk anak lainnya. Sekolahnya hanya hari Jum’at dan Sabtu, namun nanti akan tetap sama mendapatkan Ijazah dari SMA. Menurut saya, program ini sangat bagus untuk mengentaskan masalah kesempatan belajar.

 

Nah ini, saya menemukan sebuah jurnal tentang Sekolah Terbuka dengan judul, SEKOLAH MENENGAH ATAS TERBUKA (SMA TERBUKA): SEBUAH MODEL PENDIDIKAN YANG FLEKSIBEL.

 

Berikut abstraksinya:

Data Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional (BalitbangDepdiknas, 2000) mengungkapkan bahwa pada tahun ajaran 1999/2000 terdapat jumlah lulusan SMP/MTs sebanyak 2,66 juta orang. Dari jumlah lulusan ini, yang melanjutkan pendidikan ke tingkat pendidkan berikutnya hanya 1,78 juta anak (66,9%). Pada tahun yang sama, jumlah peserta didik yang putus sekolah pada pendidikan sekolah menengah berjumlah 243.100 peserta didik dari 5,6 juta peserta didik (9,03%). Apabila data ini dapat dianggap sebagai keadaan ratarata setiap tahun, maka akan terjadi akumulasi yang semakin besar dari tahun ke tahun mengenai jumlah peserta didik yang putus sekolah pada pendidikan menengah dan peserta didik yang tidak melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah; terlebih lagi jika tidak dilakukan intervensi. Menghadapi keadaan yang demikian ini, dibutuhkan suatu model/sistem pendidikan alternatif yang inovatif dan fleksibel yang dapat mengatasi masalah/kendala kesempatan belajar. Dalam kaitan ini, SMA Terbuka sebagai sebuah alternatif model/sistem pendidikan yang inovatif dan fleksibel telah dirintis di 7 lokasi di 6 provinsi sejak tahun 2001/2002. Tulisan ini akan membahas berbagai aspek tentang model/sistem pendidikan SMA Terbuka sebagai sebuah model pendidikan yang fleksibel.

 

 Sumber: Jurnal Teknodik Vol. 12 No. 2, Desember 2008

 

Di beberapa berita online yang saya baca, sekolah terbuka ini memang belum dioptimalisasi keberadaanya. Dan saya pun tidak tahu, apakah sekarang masih ada konsep sekolah terbuka seperti ini?


Padahal, dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, Pembelajaran Jarak Jauh dengan model Blended Learning (Online dan Offline) harusnya bisa dioptimalisasi dengan baik.


Helooo, ini udah tahun 2021 dimana seorang bayi pun sudah punya akun tik-tok dan Instagram.

 

Peraturan dan Realita


Menurut saya, sebagai orang awam, hanya seorang orang tua biasa, yang namanya peraturan adalah hal yang fleksibel, seperti halnya peraturan yang saya terapkan di rumah untuk anak-anak saya. Kalau ada masalah, ya saatnya monitoring dan evaluasi. Jika ada masalah, kita harus temukan solusi agar semuanya bisa berjalan seadil-adilnya. Solusi masih melahirkan masalah? Ya terus dicari akar permasalahannya sampai dapat dan buat solusi lagi yang lebih baik.


Karena bagaimana pun, kita tidak boleh bertindak tidak adil bagi sebagian orang. Apalagi jika konteksnya pemerintah atau negara, tentu harus memberikan win-win solution bagi masyarakatnya.

 

Baiklah, itu saja opini saya tentang PPDB yang menyeleksi anak berdasarkan usia, menurut saya hal ini justru mengatasi masalah dengan masalah baru. Menyelamatkan yang putus sekolah, namun membuat yang lain terancam putus sekolah.

 

Semoga pihak-pihak terkait bisa segera menyelesaikan masalah ini. Ada komentar atau solusi lain? Yuk sharing di kolom komentar.

 

*Biasakan diskusi yang membangun ya, bukan saling menjatuhkan. Terima kasih.


[Opini] Kurangnya Pendidikan Peran Perempuan dalam Kurikulum Sekolah


"Aku pengen resign, tapi masih belum bisa. Orang tua gak kasih izin, keluarga juga masih perlu sokongan ekonomi tambahan. Tapi jujur aja, aku galau banget sama anak."

"Sedih, aku merasa useless banget di rumah. Ibu nyuruh aku kerja, karena udah capek-capek sekolahin aku sampe sarjana, tapi malah di rumah terus, cuman momong anak. Aku merasa sakit hati dan gak berguna jadinya."

...

Dialog curhat seperti di atas itu seperti familiar. Yaps, familiar di kalangan perempuan atau ibu yang memutuskan bekerja di kantor atau tinggal di rumah, full ngasuh anak dan beberes setiap harinya. 

Kegalauan seperti ini sering sekali saya dengar dari teman-teman. Walau sekedar update status media sosial, atau curhat langsung ke saya. 

Saya ngerti kenapa mereka galau, toh saya pun pernah berada di posisi mereka. Sama-sama bingung antara anak dan eksistensi diri melalui pekerjaan.


Ujung-ujungnya, para perempuan atau ibu ini melakukan pembelaan diri dan pembenaran, atau kita kenal istilahnya Mom War, antara ibu bekerja dengan ibu rumah tangga.

Mom war yang tak kunjung usai, bahkan sampai muncul kata-kata ataupun gambar yang menyakitkan, baik untuk ibu bekerja maupun ibu rumah tangga.

Sebenernya, kalau saya boleh ngajak temen-temen berpikir sejenak, semua kegamangan dan pertarungan opini antara ibu bekerja vs ibu rumah tangga, gak harus terjadi jika kurikulum pendidikan di Indonesia agak diretouch sedikit mengenai peran gender atau jenis kelamin. Yaitu laki-laki dan perempuan.

Jadi, semata bukan karena pribadi masing-masing yang senengnya war atau gontok-gontokan, tapi lebih jauh lagi, ini semua dikarenakan kurikulum pendidikan Indonesia yang masih sangat kurang dalam memberikan edukasi tentang peran laki-laki dan perempuan di dalam hidup ini, tsahh.

Sex Education emang sering digembar-gemborkan, tapi lebih ke arah edukasi sex secara fisik, seperti pengenalan alat reproduksi, bagaimana menjaga tubuh kita dari orang lain, dll. 

Bagus sih, tapi menurut saya tetep kurang. Karena anak perempuan dan laki-laki juga perlu diberi tau sejak dini, peran perempuan dan laki-laki secara sosial, apa saja tanggung jawabnya, apa saja kewajibannya, dan apa saja tantangannya.

Baca juga: Dari Si Tomboy Jadi Si Feminim

Balik lagi ke peran perempuan dan laki-laki di masyarakat.

Sadar kah kita kalau dari kecil  kita diajarkan hal yang sama dengan laki-laki, ibarat kata, gak ada bedanya dengan teman laki-laki kita.

Secara materi semua plek ketiplek sama. Guru-guru berbasis mata pelajaran tentunya mengajarkan materi pelajaran yang sama seperti Trigonometri, Arus listrik, Penyerbukan, Reaksi Kimia, dan lain sebagainya.

Semuanya sama, tak ada perbedaan bukan? Bahkan kadang yang perempuan lebih jago ngitung jumlah rantai karbon dibanding laki-laki, padahal yang banyak kerja di pertambangan kan Bapak-bapak, yang bersinggungan sama bidang tersebut.

Menurut saya, tetap harus ada pendidikan/pembelajaran yang "membedakan" antara laki-laki dan perempuan. Terutama dalam memahami peran gendernya ketika ia terus beranjak dewasa.

Jangan sampai ketika dewasa anak perempuan itu berpikir "Ya emang dari kecil, gue diajarin ilmu x y z, ya mau gak mau, gue harus pake buat kerja."

Kita, orang dewasa ini macam disuruh mikir "lah kan emang begini seharusnya, lah kan emang sekolah itu buat kerja." Thats it.

Hmmmmm.

Kurikulum Indrustial

Indonesia memang menganut sistem kurikulum Industrial dimana terinspirasi dengan adanya Revolusi Industri.




Makanya, sejak dulu, kalau kita perhatikan semua mata pelajaran yang kita terima adalah berbasis kompetensi alias keahlian melakukan sesuatu yang sudah tersistem. Apalagi kurikulum SMK, mata pelajarannya adalah untuk melakukan hal tertentu yang terstruktur dan terorganisir. 

Kenapa seperti itu? Karena memang, kurikulum Industrial itu menyiapkan lulusannya menjadi seorang pekerja.

Bahkan, waktu kecil, saya kebayangnya kalau udah gede bakal jadi kasir di supermarket loh, suwer

Ya ampun itu kalau inget jadi ngakak sendiri.

Oleh karena itu, dengan adanya kurikulum 2013 berbasis karakter, saya sungguh gembira. Pemikiran akan kognitif yang agung sudah mulai berkurang. Anak-anak lebih dibina karakternya selain kognitifnya. Walau pun tetep sih, di lapangan ada yang tetap mengagung-agungkan  nilai ulangan, nilai ujian, nilai matematik, dsb.

Tetep ya, orang tuanya terbawa nuansa zaman dulu pas sekolah, dimana nilai kognitif dan rangking yang jadi acuan kecerdasan anak.

Galau Akan Masa Depan

Coba deh, siapa yang cita-cita masa kecil, gak sinkron sama kerjaan atau pun kondisi masa kini? Berapa banyak sih orang yang sukses meraih cita-cita masa kecilnya? Dan beneran happy dengan keadaannya sekarang?

Ya mungkin ada, tapi ga banyak. Trus kita termasuk yang mana?

Ada gak sih yang mikir, "kok tiba-tiba gue jadi guru ya? Tiba-tiba gue jadi PNS? Tiba-tiba gue jadi blogger?" Semuanya bak diluar rencana.

Tak Tahu Peran, Tak Punya Pilihan

Karena ketika kita gak tau siapa diri kita, apa peran kita, ujung-ujungnya kita gak punya pilihan, ketetapan hati, dan keputusan di masa depan.

Dosen saya dulu pernah nyeletuk, "Udah gak zaman tuh sekarang Ibu memasak di dapur, ayah berangkat ke kantor. Karena sekarang, ibu juga bisa berangkat ke Kantor dan Ayah bisa masak di dapur."

Iya sih, tapi kok saya dengernya gak enak ya waktu itu. Seakan-akan gak ada batasan lagi antara tanggung jawab laki-laki dan perempuan.

Baca Juga: Susahnya Menikah

Karena pesan pendidikan yang blur tentang peran perempuan dan laki-laki ini, jujur aja, saya pun merasa jadi korban dan menjadi generasi yang kebingungan.

Gak punya pandangan, pemahaman, dan keputusan sejak kecil. Kehidupan dijalani dengan let it flow tanpa gambaran yang jelas tentang masa depan akan seperti apa, pekerjaan apa yang bisa dilakukan, peran apa yang harus saya "mainkan" semuanya tak terencana sejak di bangku sekolah dasar.

Padahal kita sekolah lama loh, TK 1 tahun, SD 6 tahun, SMP 3 tahun, SMA 3 tahun, Kuliah 4 tahun. 17 tahun yang sia-sia kalau sampai gak tau tujuan hidup sendiri *so sad

Peran Guru

Di sekolah, memang pelaksana kurikulum yang paling utama adalah guru. Tapi, dengan beban mata pelajaran yang begitu berat, apa masih bisa mengakomodir hal lainnya dengan segala keterbatasannya?

Guru Bimbingan Konseling

Memang sih, guru BK paling pas untuk jadi konselor atau orang tua yang mengarahkan anak didik diluar mata pelajaran, tapi kadang guru BK lebih identik dengan kasus anak, kedisiplinan, dll. Dan guru BK juga hanya ada di tingkatan sekolah menengah saja, padahal di tingkat sekolah dasar pun, fungsi dan peran perempuan dan laki-laki itu penting disampaikan.

Ini bisa jadi salah satu solusi, peran guru BK ini harusnya lebih diarahkan untuk memberikan gambaran peran dan tanggung jawab anak-anak di masa depan nanti, termasuk peran gendernya sebagai perempuan dan laki-laki. Perannya dalam membangun keluarga, masyarakat, membangun bangsa dan lainnya.

Bukan hanya soal profesi atau cita-cita sebagai seorang xxxxx, tapi berbagai peran yang akan disandang oleh manusia dewasa harus bisa dijelaskan oleh seorang guru BK di sekolah. 


Jangan Meremehkan Anak Usia Sekolah Dasar

Karena di usia ini lah anak-anak akan sering bertanya "eksistensinya" di dunia ini. Mulai dari "asalnya dari mana" "terbuat dari apa" "kenapa kita ada"  dan bahkan anak-anak suka berimajinasi ingin jadi apa kelak dia ketika dewasa dengan cara belajar dari lingkungan sosial.

Mengenal Peran Gender Sejak Kecil, Meminimalisir Kegalauan di Masa Depan


Seperti yang sudah saya katakan di atas, kita menjadi generasi yang kebingungan karena kita kurang atau bahkan tidak paham tugas dan fungsi kita masing-masing.

Sebagai perempuan, sejak kecil kita tidak menerima pendidikan yang lengkap mengenai tugas dan peran perempuan dalam keluarga dan masyarakat.  Tidak semua keluarga mengerti bagaimana mengedukasi anak-anaknya akan perannya sebagai perempuan dan laki-laki.

Bersyukurlah kalau kamu dilahirkan dari keluarga yang memang mengerti dan paham cara mengarahkan anak. Sehingga, ketika dewasa, anak sudah tidak kebingungan dan mantap mengambil peran di masyarakat.

Lah kalau ngga?

Agar Perempuan Tidak Berujung Pada Kegalauan

Andai peran dan fungsi perempuan di keluarga dan masyarakat diajarkan sejak dini, mungkin Mom war tentang ibu bekerja dan ibu rumah tangga akan bisa diminimalisir.




Pertama, mental perempuan akan lebih siap. Karena sudah ada gambaran akan masa depan. Jika bekerja akan lebih siap mempersiapkan mental, diri, kompetensi, dan pengetahuan tentang seluk beluk ibu bekerja.

Kedua, begitupun dengan Ibu rumah tangga. Memilih jadi ibu rumah tangga karena pilihan dan kesiapan mental, bukan hanya nasib semata. Dan sudah tau, apa yang akan dilakukan jika saya tidak bekerja di kantor. Menjadi seorang wirausahawan kah, menjadi seorang relawan di dunia pilantropi kah, atau menjadi pelayan masyarakat dengan aktif di komunitas.

Baca juga: 5 Inspirasi Wirausaha Bagi Muslimah dari Brand Tas Heejou

Coba deh bayangin, jika pendidikan kita sudah berpikir sejauh ini. Khususnya bagi perempuan, maka hidupnya akan lebih bahagia dan jauh dari kegalauan, antara bekerja atau tidak.

Karena semuanya sudah dipersiapkan sejak kecil, mentalnya disiapkan, diberikan informasi yang lengkap tentang kemungkinan atau resiko dari pilihan yang akan diputuskan. Perempuan pun gak akan saling "serang", saling menjatuhkan karena alasan pilihan hidup.

Ibu bekerja bahagia dan mantap dengan keputusannya, ibu di rumah pun bergembira karena ini merupakan gambaran kehidupan idealnya sejak kecil.

Gak galau dan gak merasa salah dalam ambil keputusan.

"Karena ibu yang bahagia itu adalah koentji untuk melahirkan generasi yang bahagia, dan semuanya sudah dipersiapkan dengan baik bahkan semenjak sang ibu masih belajar mengeja namanya sendiri."


Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi berdasarkan pengalaman dan pengamatan, dan tidak menerima perdebatan dalam bentuk apapun. Terima kasih :D