Copyright by tettytanoyo. Powered by Blogger.
Showing posts with label Inspirasi. Show all posts

Kenapa Manusia Tiba-tiba jadi Malas dan Bodoh?

Judulnya emang cukup nyelekit, apalagi kalau kalimat itu ditujukkan untuk diri kita. Siapa yang malas? siapa yang bodoh?

Kita simak cerita berikut terlebih dahulu deh. 

*suatu waktu di kamar kos seorang perempuan*

Ada seorang mahasiswi yang sedang "ngedumel" sendiri di kamar kos-nya. Ketika hendak berangkat ke kampus tiba-tiba turun hujan deras.

"Aduh, hujan. Gimana nih? mau berangkat ke kampus tapi motor belum ada, masih dipinjem, jangan-jangan yang minjem juga kejebak hujan nih" Gerutunya dalam hati.

"Yah, gak bisa berangkat ke kampus deh" 


Ada yang aneh dengan cerita di atas? Saya rasa tidak ada. Tetapi izinkan saya bercerita mengenai latar belakang mahasiswi yang satu ini. 

Dia adalah mahasiswi yang datang jauh merantau dari sebuah desa. Niatnya ke ibu kota adalah untuk kuliah. Pada masa awal kuliah dia sangat rajin ke kampus. Tentunya dengan berjalan kaki. Walaupun tempat kos nya jauh, ia tetap bersemangat bulak-baliik ke kampus setiap hari. Apabila sedang ada keperluan dia pun tidak segan untuk naik angkot atau bis kota segala jurusan. Walau panas atau pun hujan ia tetap bersemangat.

Suatu saat, orang tua dari mahasiswi ini merasa kasihan dengan keadaan putrinya di tanah rantau. Putrinya selalu nampak kelelahan karena harus berjalan kaki menuju kampus, dan harus menggunakan kendaraan umum jika ada keperluan di luar kampus. Untuk itu sang orang tua memberikannya sepede motor sebagai reward kerja kerasnya selama ini. Mahasiswi itu pun kegirangan.

Waktu berselang, motor kesayangannya menjadi tumpuan kemanapun ia pergi. Ke kampus, ke toko buku, ke pasar, dan ke tempat-tempat lainnya. Motor pemberian orang tuanya itu menjadi soulmate-nya sepanjang hari.

Namun, apa yang terjadi?

Suatu saat terjadilah dialog yang saya tuliskan di awal tulisan ini. Dia mengeluh, saat ia tak bisa berangkat ke kampus karena hari hujan dan motor kesayangannya sedang tak bersamanya. Padahal sebelumnya dia seorang yang begitu semangat dan cekatan walaupun harus berjalan tiap hari ke kampus. Tapi sekarang, dia terlena dengan kehadiransebuah sepeda motor. Hingga ia LUPA bahwa dulu ia pernah "bisa hidup" tanpa kehadiran soulmate-nya itu.

Kenapa ia mendadak lupa dengan adanya KAKI yang Tuhan ciptakan? yang sebelumnya dia gunakan tanpa lelah untuk menuntut ilmu? Kenapa ia mendadak BODOH? padahal dulu dia menggunakan payung disaat turun hujan.

Saya sendiri mungkin pernah menjadi mahasiswi malas dan bodoh tersebut. Seringkali lupa dengan apa yang sebelumnya BISA kita lakukan sebelum adanya "penolong" yang datang begitu saja dan juga bisa pergi kapan saja.

Cerita tadi hanyalah analogi bahwa seringkali kita menempatkan sesuatu yang bersifat kebendaan menjadi satu-satunya penolong sehingga kita lupa dengan kemampuan yang kita miliki sebelumnya. Alih-alih tak ada kendaraan, kita malas dan tak bisa keluar rumah, padahal ada tukang becak, tukang ojeg, bahkan kaki sendiri tersedia untuk berjalan. 


Kadang kita harus membatasi diri dengan hidup yang serba nyaman yang pada akhirnya malah melenakkan. Sehingga potensi-potensi terbaik dalam diri kita terabaikan begitu saja. 


Wallahu'alam


#STOPBULLYING!!!

Jujur saya heran, sampai detik ini masih ada saja yang mengaku akifis dakwah Islam tapi sangat dangkal pemahaman Islamnya. Saya menyampaikan ini bukan saya merasa paling suci, paling benar, paling pintar, TIDAK saya katakan TIDAK.

Detik-detik pergantian pemimpin negara segera dimulai, beberapa kaum/golongan ada yang bersegera bersiap. Layaknya akan bertempur di medan perang mereka mempersiapkan berbagai persenjataan. Sebutlah para Parpol Islam, mereka sibuk berkampanye kesana-kesini meminta dukungan masyarakat. Salah satunya melalui sosial media, mass media, dan lain sebagainya. Sosial media digunakan karena dirasa ampuh untuk mendekati "sumber suara", media sosial seperti facebook, twitter, juga ampuh untuk mendapatkan quick response dari masyarakat. 


Media sosial memungkinkan masyarakat saling berkomunikasi, mengutarakan pendapat, dan menyuarakan aspirasi. Namun yang saya amati kampanye media sosial menjadi ajang Bullying satu golongan terhadap golongan lain. Saya ambil contoh, ketika sebuah partai islam berkampanye ada golongan lain yang berteriak bahwa partai tersebut mengajak masyarakat pada kehancuran bahkan kekafiran. Naudzubillah.

Dan yang paling mengecewakan, suara-suara miring, Bullying, tersebut datang dari golongan yang mengaku membela syariat. Syariat mana yang dibela? sejauh saya membaca Sirrah Nabawiyah, Rosulullah SAW selalu mengedepankan kasih sayangnya kepada orang yang berbeda pendapat bahkan pada musuhnya sekalipun. Saya benar-benar tak habis fikir, disimpan dimana akhlakul karimah sehingga mereka bebas berkata, mencaci, memaki, yang notabene saudara seiman, sesama muslim.

Adakah masuk ke dalam sebuah golongan harus menghina golongan lain dan merasa golongannya paling benar?

Saya tak membela siapapun, saya sebagai orang awam hanya menilai apa yang saya lihat. Apakah mungkin saya akan bersimpati dengan gerakan dakwah mereka? siapa sudi berteman dengan orang yang buruk budi. Menghina mencaci saudara sendiri.

Marilah sama-sama berfikir sejenak, adakah kebaikan dibawa dalam wadah keburukan? adakah dakwah dibawakan dengan fitnah dan cacian?

Rasulullah SAW pun berdakwah bil hikmah, ia raih hati manusia dengan lisan yang indah, dengan akhlak yang mulia, hingga semua hati berpadu dalam indahya Islam yang mulia. Wallahu'alam




Jangan Jadi Bunglon

Kita semua tahu bahwa bunglon adalah hewan yang bisa menyesuaikan warna tubuhnya dengan lingkungan sekitar. Kemampuan ini Alloh desain dengan sedemikian rupa agar bunglon dapat menghindari diri dari pemangsa. Kemampuan ini tentu sangat bagus dimiliki oleh seekor bunglon, karena denganya ia bisa terlihat menyerupai warna lingkungannya. Warna tubuhnya melebur bersama warna lingkungan tempat ia berada.

Tapi tahukan kita bahwa hanya bunglon lah yang "pantas" memiliki kemampuan tersebut. Bagaimana jika manusia memiliki atau meniru kemampuan bunglon tersebut? saya rasa "tidak pantas". Mengapa? bunglon mengubah warna tubuhnya agar ia tidak terlihat oleh pemangsa sehingga ia terlihat sama dengan warna lingkungan. Namun bagaimana dengan manusia? haruskah ia memiliki kemampuan untuk "berkamuflase" dengan lingkungan sekitarnya? saya rasa jawabannya TIDAK.

Manusia adalah makhluk yang sempurna akal dan perasaan. Manusia mampu berfikir dan merasa, dengan kemampuan berfikir dan merasa manusia memiliki kecerdasan lebih diantara makhluk lain. Salah satunya kecerdasan dalam bersikap dan bertingkah laku. Sebagian besar tingkah laku manusia tentu didapat dari cara berfikirnya, dan cara berfikirnya tentu dipengaruhi tentang keyakinannya tentang suatu hal. Salah satunya keyakinan dalam berketuhanan, yakni beragama. Manusia yang beragama tentu memiliki pedoman yang mengatur tingkah lakunya sehari-hari. Berbeda dengan manusia jahiliyah yang hidupnya penuh dengan kebodohan karena tidak beragama.

Seperti halnya perintah berhijab/menutup aurat bagi perempuan muslim. Perintah ini diturunkan dengan banyak manfaat, salah satunya adalah sebagai identitas diri. Kita akan sangat mudah mengenali perempuan muslim dengan perempuan kafir dilihat dari hijab yang ia gunakan. Sehingga kita juga dengan sangat mudah mengambil keputusan bagaimana tata cara memperlakukan perempuan muslim tersebut. 

Sama hal nya dengan tindakan bermuamalah, sebagai seorang muslim kita memiliki pedoman yang jelas yakni Al-Qur'an dan Al-Hadits. Kita memiliki rambu-rambu dalam bertindak tanduk di lingkungan masyarakat. Apa yang dilarang dan apa yang diperbolehkan. Saya fikir aturan semacam itu sebagai fungsi perlindungan dan juga menjaga nama baik dan kehormatan kaum muslimin itu sendiri.

Manusia bukan lah bunglon, karena manusia memiliki "warna" tersendiri yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Sehingga, sangat salah apabila manusia memperlakukan dirinya sebagai bunglon yang merubah-rubah warna kulitnya bergantung pada lingkungan sekitarnya. Manusia memiliki "warna" yang harus ditunjukkan, khususnya bagi seorang muslim. Warna tersebut digunakan untuk membedakan mana muslim dan mana yang bukan. Sehingga lingkungan pun tahu bagaimana caranya memperlakukan diri kita, bukan sebaliknya.



Wallahu'alam 



(jika) Rumahku (bukan) Syurgaku

Istilah rumahku syurgaku menurut saya bukan hanya sekedar slogan biasa. Banyak makna tersirat di dalam slogan tersebut. Banyak orang yang menafsirkan bahwasloga rumahku syurgaku adalah slogan yang bermakna bahwa rumah adalah tempat peristirahatan dan tempat berlindung paling indah. Sehingga disamakan dengan kenyamanan setingkat di syurga. 

Saya juga sepakat dengan penafsiran tersebut. Tapi saya memiliki penafsiran lainnya berkaitan dengan "rumahku syurgaku" ini. 

Setiap hari masing-masing anggota keluarga beraktifitas sesuai dengan peranannya masing-masing. Seorang ayah bekerja setiap hari karena memang tugasnya mencari nafkah yang halal bagi keluarganya. Seorang ibu bertugas sebagai manajer dalam rumah tangga, mengatur rumah secara fisik (membersihkan, menata, memperindah, dan lain sebagainya), mengatur rencana pengeluaran dan pemasukan keuangan, mengatur gizi keluarga, bahkan mengatur penampilan setiap anggota keluarga. Dan seorang anak berkewajiban mentaati perintah orang tua, selama tidak bertentangan dengan Qur'an dan Hadits. 

Setiap anggota keluarga berkolaborasi demi terwujudnya cita-cita atau visi rumah tangga mereka masing-masing. Terutama orang tua (ayah dan ibu) mereka adalah pilot dan co-pilot dalam penerbangan menuju cita-cita mulia ini. 

Dalam sebuah rumah-lah pribadi-pribadi (ayah, ibu, dan anak) ini berkolaborasi dan berkembang bersama. Sehingga rumah lah yang pertama kali membentuk karakter masing-masing anggota keluarga. Dan tentunya karakter ini akan di bawa baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Seringkali kita melihat anak atau bahkan seorang ayah /ibu yang penampilannya urakan atau tidak rapi. Ada juga anak atau seorang ayah/ibu yang gaya hidupnya sangat boros, tidak mampu mengendalikan keinginan untuk membelanjakan uang untuk hal yang tidak perlu. Dan ada seorang anak dan seorang ayah/ibu yang berprilaku jorok atau tidak bersih, sehingga perilaku hidupnya tidak sehat.

Hal-hal diatas merupakan karakter seseorang ketika berada di masyarakat, dan saya yakin karakter tersebut sangat dipengaruhi oleh karakter atau perilaku yang dibentuk di rumah. Misalnya ada seorang ayah yang suka bermalas-malasan ketika bekerja, atau anak yang malas mengerjakan tugas sekolah. Mungkin di rumah manajemen waktu yang diterapkan kurang  baik. Atau ada seorang ibu yang sangat boros, bisa jadi di rumah memang tidak ada pengaturan atau SOP sistem pengeluaran dan pemasukan keuangan yang disepakati bersama (sistem keuangan keluarga tidak jelas/buruk).

Menurut saya, fungsi-fungsi ini lah yang menjadikan keluarga disebut sebagai institusi terkecil dari pendidikan. Keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak, merupakan kumpulan karakter dan personal yang berinteraksi secara intens di dalam rumah. Karakter yang dibentuk di rumah inilah "pakaian" masing-masing anggota keluarga dalam bermasyarakat. Alangkah sedihnya apabila ada seorang ayah yang memiliki kedudukan atau prestasi tinggi di dalam bidang pekerjaan namun memiliki "pakaian" yang tidak baik. Pastinya kerugian bukan hanya timbul bagi dirinya dan keluarganya, tapi lebih jauh lagi kerugian ini akan ditanggung oleh masyarakat dan negara (contohnya koruptor).

"Rumahku syurgaku" memang kalimat yang sangat sederhana, Namun bagaimana caranya agar kalimat tersebut menjadi sebuah filosofi dalam membina sebuah institusi yang bernama keluarga. Bagaimana caranya agar seluruh anggota institusi tersebut 'berpakaian" seperti para penguhuni syurga, yang memberikan keindahan akhlak dan nilai manfaat yang besar bagi seluruh lapisan masyarakat. 

Titip Rindu Buat Ibu


"Tidak ada yang lebih hangat selain dekapan seorang ibunda"


Diah (kanan)

Namanya Diah, usianya belum genap 5 tahun ketika saya bertemu dengannya ketika Himpunan Mahasiswa jurusan tempat saya kuliah dulu melakukan program P2M singkatan dari Pengabdian Pada Masyarakat. 
P2M sendiri merupakan suatu program yang dilakukan secara swadaya oleh mahasiswa dalam rangka mengamalkan tri dharma perguruan tinggi, yakni pengabdian. 

Kala itu bulan Januari 2010 himpunan mahasiswa melakukan pengabdian pada masyarakat di kabupaten Subang Jawa Barat. Tepatnya di dusun Cibuluh, Parung Jaya. Kami melakukan pengabdian selama satu minggu di desa tersebut. Program kerja dan acara yang kami selenggarakan cukup beragam, sesuai dengan berbagai bidang kerja yang ada di himpunan itu sendiri. Misalnya bidang Agama, biasanya bidang agama melakukan pengajian atau ta'lim bagi warga sekitar dan menyelenggarakan Taman Pendidikan Al-Qur'an bagi anak-anak di lokasi P2M. Sedangkan bidang lain, seperti olah raga melakukan perlombaan-perlombaan olah raga antar warga. Sedangkan bidang pengembangan sumber daya organisasi biasanya akan berkolaborasi dengan karang taruna setempat untuk berdiskusi dan sharing pengalaman seputar organisasi.

Tujukan PadaNya

"Ingat-lah Allah SWT, maka hati kan tenang"



Janji-Nya, janji siapa yang paling pasti dan tidak akan ingkar? tentu hanya Allah SWT. Hanya Dia pemilik janji yang tak akan pernah diingkari, berbeda dengan janji yang dibuat oleh manusia, seringnya lupa bahkan janji palsu pun banyak.

Fitrah manusia adalah memiliki kebutuhan mengenai eksistensi diri (pengakuan diri). Manusia mana yang ingin keberadaannya tidak diakui oleh lingkungan sekitarnya. Keberadaannya diacuhkan dan diabaikan atau dianggap tidak ada. Saya meyakini semua manusia di dunia ini sangat ingin "diakui" oleh lingkungan sekitarnya, baik masyarakat maupun keluarga.

Saya pernah membaca sebuah buku tentang rumah tangga. Disitu diceritakan ada sepasang suami istri yang memiliki konflik/masalah dalam rumah tangganya. Sang suami bekerja sebagai karyawan swasta di sebuah perusahaan, begitupun sang istri, ia bekerja di sebuah perusahaan swasta juga. Karena belum memiliki keturunan, mereka berdua leluasa untuk bekerja dan memiliki kesibukan masing-masing di luar rumah. Namun, mereka masih tinggal satu atap dengan orang tua sang istri, mereka belum berencana memiliki tempat tinggal sendiri dikarenakan kondisi finansial yang belum memadai. Singkat cerita, masalah rumah tangga mereka bermula dari sini. Sang suami hanya lah pegawai swasta biasa yang memiliki penghasilan pas-pasan. Sedangkan sang istri memiliki penghasilan yang lebih besar dari pada suami. Hal ini memicu konflik pada rumah tangga mereka. Sang istri masih sangat menghormati suaminya sebagai kepala keluarga yang menanggung nafkah bagi keluarganya, tapi tidak bagi mertua dan kakak ipar sang suami. Mereka makin hari makin tidak menghormati sang suami. Sindiran, ejekan dan hal lainnya silih berganti datang dari mulut mertua dan kakak ipar. Mereka selalu meyakinkan sang istri bahwa suaminya hanyalah benalu dan tidak bisa menjadi suami yang baik. 


Menurut kisah di atas, jelas bahwa eksistensi diri adalah kebutuhan. Pengakuan, penghargaan, dan penghormatan diri adalah kebutuhan yang harus dipenuhi. Tapi masalahnya, terkadang pengakuan diri identik dengan prestasi yang kita miliki. Walaupun tidak sepenuhnya benar bahwa pengakuan diri identik dengan pengakuan diri tapi biasanya orang yang memiliki "nilai lebih" lebih mudah mendapatkan pengakuan diri dari orang lain. Seperti lebih dari segi materi, kedudukan, ilmu, dan lain sebagainya.


Walaupun prestasi identik dengan pengakuan diri, alangkah baiknya apabila pengakuan diri di mata Allah menjadi prioritas utama dibandingkan pengakuan diri di mata manusia. Alangkah seringnya kita (saya sendiri) lebih mementingkan prestasi dan pengakuan diri di mata manusia. Kita lupa bahwasanya manusia juga perlu memberikan "prestasi" nya kepada Allah SWT. Sehingga keberadaan kita di dunia ini diakui dan dihargai oleh Alloh SWT (walaupu sebenarnya kita lah yang butuh ke Alloh, bukan sebaliknya). Saya selalu teringat ucapan Kh. Abdullah Gymnastiar atau AA Gym yang selalu bilang "apabila kita berharap kepada manusia maka bersiap-siaplah untuk kecewa" 


Mengukir sebuah prestasi di dunia bukanlah hal yang salah, bahkan Allah memerintahkan kita untuk ber-fashtabikul khoirot atau berlomba-lomba dalam kebaikan. Selama prestasi tersebut ada dalam jalan kebaikan, kenapa tidak? Tapi dengan niat yang lurus ikhlas karena Allah semata.