Alhamdulillah wa syukurillah.. bisa menulis lagi disini.
Tepat di tahun 2014 ini kami sekeluarga berhijrah dari kota Bandung ke kota Depok, tidak terlalu jauh memang, tapi banyak perubahan dan pengalaman yang kami rasakan bersama.
Pertama, perbedaan suhu udara. Yaps, Bandung adalah kota yang sedemikian sejuk bahkan cenderung dingin di saat-saat tertentu (seperti pada musim hujan). Di Bandung, mandi setiap hari tidak lebih dari dua kali, dan itu pun seringnya menggunakan air hangat untuk mandi. Karena memang shubuh hingga dzuhur kadang Bandung masih sangat dingin (apalagi kami tinggal di daerah Bandung Utara tepatnya di Jl. Geger Kalong Girang, dekat pesantren Daarut Tauhid milik KH. Abdullah Gymnastiar atau Aa Gym).
Disini (baca:Depok) suhu udara lumayan membuat kami berkeringat, mandi bisa lebih dua bahkan tiga kali, dan sebelum tidur pun kami masih berani untuk mandi. Kipas angin pun tidak pernah berhenti dinyalakan sepanjang hari.
Kedua, perbedaan bahasa (khususnya intonasi). Di Bandung sendiri sudah tidak terlalu banyak yang menggunakan bahasa sunda sebagai bahasa pergaulan sehari-hari. Banyaknya pendatang, pengaruh arus informasi dan komunikasi juga membuat warga Bandung banyak menggunakann bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan ketimbang bahasa Sunda. Tapi, letak perbedaannya adalah pada intonasi. Di Bandung, masyarakat berbicara dengan nada yang rendah dan intonasi yang cukup halus (mungkin karena udara yang sejuk dan gaya bicara orang Sunda yang memang lembut). Berbeda dengan di Depok kebanyakan warga merupakan warga pendatang dari berbagai daerah, dan tersentuh budaya betawi (mungkin karena dekat Jakarta) sehingga nada dan intonasi bicara cukup tinggi dan keras. Pernah satu ketika kami mendengar seseorang yang terdengar sedang marah-marah. Eh, ternyata orang tersebut bukan sedang marah-marah, tapi sedang ngobrol dengan tetangga sebelah. hehehe.
Selain itu, ada cerita lucu ketika awal menempati rumah kontrakan disini. Anak saya Kifah nangis kenceng jam 10 malam. Bagi kami itu sudah biasa, kalau sedang marah dan ngambek Kifah nangisnya ga ketulungan. Ga da yang bisa bikin dia diam. Kecuali dirinya sendiri, itu pun karena kecapean karena nangis ber jam-jam.
Tiba-tiba tetangga-tetangga berdatangan, ada yang panik kemudian ngasih saran untuk ambil sapu lidi, lempar kacang hijau, baca surat Yasin, dll. Katanya rumah yang kami tempati cukup lama kosong dan bisa jadi dihuni oleh makhluk halus yang mengganggu anak kecil (kami cuma bengong dan bingung mau ngomong apa). Kemudian ada yang datang lagi ke rumah, bawa air minum sambil komat-kamit baca sesuatu (sepertinya sedang baca do'a) karena memang bapak dan ibu tersebut datang dengan meggunakan setelan orang sehabis shalat (sang Ibu menggunakan mukena, sang Bapak memakai sarung). Kami juga bingung, yang jelas kami ceritakan bahwa anak kami memang seperti itu ketika marah atau ngambek.
Perbedaan ketiga, menurut saya pribadi harga-harga kebutuhan pokok di Depok sini lebih mahal ketimbang di Bandung. Sejauh yang saya tahu memang UMK Bandung lebih rendah dibanding Depok dan Bogor (karena rumah yang kami sekarang terletak di perbatasan Depok-Bogor). Bisa jadi harga barang disini memang jauh lebih tinggi ketimbang di Bandung. Sebagai contoh untuk parkir saja, di Bandung satu jam pertama untuk sepeda motor masih Rp.1,000,- sedangkan di Depok satu jam pertama untuk biaya parkir sekitar Rp.2,000,- s/d Rp.3,000,- (itu baru parkir). Harga makanan juga agak lebih tinggi disini. Seporsi nasi+soto seharga Rp.17,000,-. di Bandung kami perkirakan harganya Rp.12,000,- hingga Rp.15,000,- (paling mahal). *kami membandingkan dengan kualitas makanan dan tempat makanan tersebut dijual*
Yaps, itulah sekelumit perbedaan-perbedaan yang kami rasakan antara Bandung dan Depok. Mudah-mudahan kami sekeluarga kerasan tinggal disini. Dan segera mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitar. (berhubung baru dua minggu tinggal disini dan masih tersisa 4 tahun lagi)
Selamat malam, Selamat beristirahat :)