Sebenernya mau nulis ini tuh 10 tahun yang lalu, namun apa daya, aku tak tau harus nulis dimana waktu itu. Belum punya blog, dan gak tau harus menyuarakan isi hati ke siapa. Sampai akhirnya, 10 tahun selanjutnya saya baru nulis tentang ini. Yaitu sekarang, wkwkwk.
Entah kenapa, saya pengen nulis dengan judul Post Power Syndrome, jadi perasaan yang paling menggambarkan saya waktu itu ya Post Power Syndrome ini.
Post Power Yyndrome atau sindrom pasca kekuasaan adalah kondisi ketika seseorang hidup dalam bayang-bayang kekuasaan yang pernah dimilikinya dan belum bisa menerima hilangnya kekuasaan itu. Post Power Syndrome sering dialami oleh orang yang baru saja memasuki masa pensiun. ( Alodokter).
Biasanya, PPS ini dialami oleh para pensiunan ya, yang sudah tidak lagi bekerja atau punya kekuasaan/jabatan. Jadi di sini saya hanya pinjem istilahnya aja, karena saya merasa ada gejala yang mirip, walau memang gak semuanya. Seperti, kurang bergairah dalam menjalani kehidupan. Merasa hampa, merasa gak berguna, gak punya teman, gak punya prestasi, dll.
Nah, kalau saat ini, istilah tepatnya kalau untuk saat ini yaitu insecure mungkin ya.
Insecure adalah perasaan cemas, tidak mampu, dan kurang percaya diri yang membuat seseorang merasa tidak aman. Akibatnya, seseorang yang insecure bisa saja merasa cemburu, selalu menanyakan pendapat orang lain tentang dirinya, atau justru berusaha memamerkan kelebihannya. (Alodokter)
Ya, rasa ngga percaya diri, minder, hampa, jenuh, gak bergairah, kurang pergaulan, ketinggalan dari orang lain dll. Perasaan itu hinggap pada diri saya 10 tahun yang lalu, setelah saya menikah dan punya anak.
Kehidupan yang Berubah
Kenapa saya menyebutnya ‘Post Power Syndrom’ karena dulu saya aktif di sekolah, kampus, dan lain-lain. Saya merasa dulu saya punya tempat beraktualisasi diri, punya teman diskusi, bisa menyalurkan kreativitas, dll. Sementara setelah punya anak, hal itu semua berasa terhenti.
Saya gak punya tempat aktualisasi diri, gak ada tempat menampung kreativitas, gak punya teman diskusi selain suami, dan merasa ketinggalan oleh teman-teman yang mungkin sudah bekerja atau berkarir dengan baik. Sementara saya di rumah ya gini-gini aja, ngerjain hal yang sama setiap hari, gak ada teman untuk berbagi (teman di sini adalah teman sesama perempuan yang bisa saling support atau minimal saling mendengar curhat/isi hati).
Ya mungkin kita punya suami, atau keluarga suami, tapi saya merasa tetap ada yang beda ketika saya diskusi dengan teman sesama perempuan seperti di kampus dulu. Dan mungkin kalau pun kita punya saudara atau tetangga, ada kalanya kita ga sefrekuensi dan gak nyambung untuk ngobrol hal yang lain, hal yang ingin kita diskusikan.
Yaps, kejenuhan, lingkaran pertemanan yang terbatas, membuat saya merasa sangat down, serasa Post Power Syndrome, berasa insecure, berasa gak berharga, dll. Dan hal itu saya rasakan cukup lama, hingga saya bisa bangkit dan mencoba mengobatinya sebisa yang saya lakukan dengan keterbatasan-keterbatasan saya saat itu.
Penerimaan
“Ayo dong, move on, move one!”
Ya, itu mungkin suara hati saya dulu, tapi saya masih blank gimana caranya move on. Aktivitas saya terbatas di rumah, teman-teman saya jauh berkurang, dan itu pun paling bisa saya hubungi secara on line aja.
Pernah saya coba, macam ikut pengajian ibu-ibu komplek, arisan RT, aktivitas di lingkungan tempat tinggal seperti Posyandu, PKK, dll. Tapi tetep aja, saya merasa “Ini gak gue banget, dunia gue gak di sini”.
Walau kadang saya merasa, oh mungkin ini saatnya saya ‘hijrah’ ke kehidupan baru, tapi hati saya masih belum bisa sreg, masih belum bisa enjoy menjalani itu semua, saya masih berusaha mencari, apa sih yang saya suka? Apa sih passion saya? Mungkin gak sih saya berbaur dengan masyarakat yang heterogen secara usia, latar belakang, dll?
Itu pikiran-pikiran saya dulu, ya. Bener-bener mencari cara untuk mengaktualisasi diri, mencari kembali ruang untuk saya bertumbuh dan berkembang. Tapi ya dengan segala lika-likunya, saya belum bisa 100% mendapatkan ‘kehidupan’ saya kembali.
Bertahun-tahun itu saya mencoba menerima, berusaha belajar, bahwa saya gak bisa berjalan ke belakang, mau jadi mahasiswa aktif seperti dulu lagi, itu udah gak akan mungkin terjadi. Saya juga gak bisa berkarakter seperti dulu lagi, yang bisa mencurahkan hidup untuk organisasi, dll. Hari ini saya punya tanggung jawab lain yang harus saya lakukan, yakni keluarga, anak dan suami saya.
Saya gak bisa bergaya hidup seperti layaknya sin gelillah dulu, kan?
Lambat laun, saya mencoba menerima, walau memang tetap sulit juga, karena saya masih melihat bahwa banyak teman-teman yang bisa berkembang di luar sana, mereka berkarir, menjadi guru, dosen, karyawan, dll. Saya tetap berusaha mengatasi perasaan-perasaan itu, sambil mencoba bangkit.
Saya rasa, fase penerimaan/accepting ini sangat perlu waktu. Bukan karena kita gak ikhlas menjadi Ibu Rumah Tangga, tapi memang menikah itu perubahan besar dalam hidup, kita sebagai manusia biasa tentu harus beradaptasi dan belajar menerima perubahan besar itu. Gak bisa dipungkiri, semua orang berproses, dan kita gak bisa memprediksi berapa lama proses itu terjadi?
Sebentar kah? atau bahkan seumur hidup kah? Dan kita sama sekali tidak bisa menjudge proses yang dialami oleh setiap orang.
Menurut saya, penerimaan atau accepting ini proses panjang. Saya pun masih sangat berproses hingga saat ini, bahkan hingga 10 tahun. Toh kita bukan robot, yang tinggal ganti program/soft warenya aja, maka semuanya bisa langsung berubah. We will take times, dan saran saya, nikmati aja semua proses itu dengan apa adanya. Kita gak perlu menjadi orang lain, kita gak perlu berlagak sempurna, berlaga seperti gak ada apa-apa. Kalau kita merasa gak percaya diri, merasa ketinggalan, merasa insecure, atau apapun itu, jangan segan untuk bicara ke suami atau orang/sahabat yang kita percaya.
Karena menurut saya, semakin kita berusaha ‘membuat topeng’ seakan kita baik-baik saja, ingin keliatan sempurna, itu akan semakin menyakiti diri kita sendiri.
Adaptasi
Sama dengan proses penerimaan, proses adaptasi pun gak mudah. Ketika saya punya anak pertama, beradaptasi dengan ritme hidup saya sendiri pun sulitnya bukan main. Awalnya saya gak harus ngurusin orang lain, tiba-tiba 24 jam harus mengurus bayi. Jam tidur berantakan, jadwal makan, jadwal pergi keluar rumah, semuanya gak ada yang bisa diprediksi. Belum lagi kalau anak sakit, lelahnya bukan main.
Menurut saya, jadi ibu atau istri itu adaptasi yang sungguh luar biasa, dan sekali lagi, perlu proses yang panjang, smooth, dan sesuai dengan diri kita apa adanya. Adaptasi ini memang sangat berat, karena kita benar-benar dididik dengan berbagai macam masalah dan keadaan.
So, kalau ada yang pernah denger cerita ibu yang terkena Baby Blues atau Post Partum Depretion, itu bener-bener kita dituntut untuk bisa menjadi teman terbaik untuk mereka, jangan menghakimi, jangan menjudge, karena beradaptasi menjadi seorang ibu itu sangat tidak mudah. Thats why, menikah adalah ibadah yang paling lama, dan menjadi ibu adalah jihad yang luar biasa.
“You takes many risk for your life, and you learn to survive”
Know Your Self (Maksimalkan Peran, Maksimalkan Potensi)
Bertahun lama saya mencari, apa sih yang saya suka? Apa yang bisa saya lakukan untuk ‘menyelamatkan’ hidup saya? Hingga singkat cerita, tahun 2014 saya buat blog ini. Saya cari banyak hal di internet, karena itu adalah hal yang bisa saya lakukan saat itu. Akhirnya saya bertemu dengan komunitas Emak Blogger (Thank you KEB) dan saya beranikan diri memperkenalkan diri di komunitas tersebut, nulis blog alakadarnya, dan gak tau mau nulis apa. I Just do it, what I can do it.
Dari blog ini akhirnya ada secercah harapan waktu itu, saya mulai berkomunitas, mengenal para blogger, membaca kisah hidup banyak orang di blog mereka. Dan hal itu membuka wawasan saya tentang banyak hal.
Saya juga coba ikut lomba blog. Seringnya tentu kalah, tapi ada suatu ketika tulisan saya menang lomba beberapa kali. Banyak hadiah yang dikirim ke rumah, dan banyak teman blogger yang mengucapkan selamat.
Oh, Wow! ternyata memang bener, selama ini saya butuh ruang kreativitas, ruang diskusi, dan apresiasi dari orang lain. Bukan untuk sombong atau gimana ya, tapi saya merasa ketika tulisan saya menang lomba, diapresiasi orang lain, ada semacam kekuatan yang muncul, bahwa saya gak selemah seperti yang saya pikir sebelumnya. Saya bisa berkarya, saya bisa bersuara.
Dua hal yang saya ambil dari pengalaman saya adalah “Maksimalkan Peran, dan Maksimalkan Potensi”
Dua hal ini yang saya pegang hingga saat ini.
1.Maksimalkan Peran
Sekarang saya sudah jadi ibu, setiap hari ada di rumah, dan saya harus memaksimalkan peran saya ini. Saya gak perlu berangan-angan, seandainya saya jadi dosen, seandainya saya jadi ini, jadi itu, yang saya perlu lakukan adalah memberikan dan melakukan yang terbaik untuk apa yang saya jalani saat ini.
Saya jadi ibu, waktu saya banyak untuk mereka di rumah. Ya, ini saatnya saya memberikan yang terbaik, yang saya punya, untuk mereka. Karena toh, setiap orang tidak akan pernah bisa mencapai kesempurnaan. Jadi buat apa kita meratapi setiap kekurangan?
2.Maksimalkan Potensi
Saya merasa saya punya potensi yang saya miliki sejak kecil dulu. Saya senang belajar, berdiskusi, bersosialisasi, berorganisasi, dll. Saya punya kemampuan mengakses internet, saya punya kemampuan berkomunikasi, saya bisa membuat ide-ide baru, saya bisa berkreasi, dsb.
Ketika saya sadari saya punya itu, maka saya harus memaksimalkan apa yang saya punya. Gak perlu semuananya, karena sekarang saya memiliki tanggung jawab lainnya. Saya hanya memilih apa yang paling saya suka, dan maksimalkan di situ supaya saya bisa mengaktualisasikan diri.
Support System
Support System adalah hal yang paling dasar yang harus kita miliki, karena tanpa itu ya akan sulit bagi kita untuk bangkit. Komunikasi kepada suami, anak dan keluarga sangat penting, apa yang kita fikirkan, apa yang kita inginkan, apa visi dan misi yang ingin kita gapai, tentu harus tersampaikan dengan baik.
Alhamdulilah akhirnya masa-masa itu terlewati, dan saya sekarang senang menjalani hobi menjadi seorang Blogger dan Social Media Enthusiast. Karena saya akhirnya bisa sharing, mendapatkan apresiasi, dan juga bonus materi, hehehe.
Apa Mama pernah merasakan hal yang sama? Yuk, sharing di kolom komentar