"Sedih, aku merasa useless banget di rumah. Ibu nyuruh aku kerja, karena udah capek-capek sekolahin aku sampe sarjana, tapi malah di rumah terus, cuman momong anak. Aku merasa sakit hati dan gak berguna jadinya."
...
Dialog curhat seperti di atas itu seperti familiar. Yaps, familiar di kalangan perempuan atau ibu yang memutuskan bekerja di kantor atau tinggal di rumah, full ngasuh anak dan beberes setiap harinya.
Kegalauan seperti ini sering sekali saya dengar dari teman-teman. Walau sekedar update status media sosial, atau curhat langsung ke saya.
Saya ngerti kenapa mereka galau, toh saya pun pernah berada di posisi mereka. Sama-sama bingung antara anak dan eksistensi diri melalui pekerjaan.
Ujung-ujungnya, para perempuan atau ibu ini melakukan pembelaan diri dan pembenaran, atau kita kenal istilahnya Mom War, antara ibu bekerja dengan ibu rumah tangga.
Mom war yang tak kunjung usai, bahkan sampai muncul kata-kata ataupun gambar yang menyakitkan, baik untuk ibu bekerja maupun ibu rumah tangga.
Sebenernya, kalau saya boleh ngajak temen-temen berpikir sejenak, semua kegamangan dan pertarungan opini antara ibu bekerja vs ibu rumah tangga, gak harus terjadi jika kurikulum pendidikan di Indonesia agak diretouch sedikit mengenai peran gender atau jenis kelamin. Yaitu laki-laki dan perempuan.
Jadi, semata bukan karena pribadi masing-masing yang senengnya war atau gontok-gontokan, tapi lebih jauh lagi, ini semua dikarenakan kurikulum pendidikan Indonesia yang masih sangat kurang dalam memberikan edukasi tentang peran laki-laki dan perempuan di dalam hidup ini, tsahh.
Sex Education emang sering digembar-gemborkan, tapi lebih ke arah edukasi sex secara fisik, seperti pengenalan alat reproduksi, bagaimana menjaga tubuh kita dari orang lain, dll.
Bagus sih, tapi menurut saya tetep kurang. Karena anak perempuan dan laki-laki juga perlu diberi tau sejak dini, peran perempuan dan laki-laki secara sosial, apa saja tanggung jawabnya, apa saja kewajibannya, dan apa saja tantangannya.
Baca juga: Dari Si Tomboy Jadi Si Feminim
Baca juga: Dari Si Tomboy Jadi Si Feminim
Balik lagi ke peran perempuan dan laki-laki di masyarakat.
Sadar kah kita kalau dari kecil kita diajarkan hal yang sama dengan laki-laki, ibarat kata, gak ada bedanya dengan teman laki-laki kita.
Secara materi semua plek ketiplek sama. Guru-guru berbasis mata pelajaran tentunya mengajarkan materi pelajaran yang sama seperti Trigonometri, Arus listrik, Penyerbukan, Reaksi Kimia, dan lain sebagainya.
Semuanya sama, tak ada perbedaan bukan? Bahkan kadang yang perempuan lebih jago ngitung jumlah rantai karbon dibanding laki-laki, padahal yang banyak kerja di pertambangan kan Bapak-bapak, yang bersinggungan sama bidang tersebut.
Menurut saya, tetap harus ada pendidikan/pembelajaran yang "membedakan" antara laki-laki dan perempuan. Terutama dalam memahami peran gendernya ketika ia terus beranjak dewasa.
Jangan sampai ketika dewasa anak perempuan itu berpikir "Ya emang dari kecil, gue diajarin ilmu x y z, ya mau gak mau, gue harus pake buat kerja."
Kita, orang dewasa ini macam disuruh mikir "lah kan emang begini seharusnya, lah kan emang sekolah itu buat kerja." Thats it.
Hmmmmm.
Kurikulum Indrustial
Makanya, sejak dulu, kalau kita perhatikan semua mata pelajaran yang kita terima adalah berbasis kompetensi alias keahlian melakukan sesuatu yang sudah tersistem. Apalagi kurikulum SMK, mata pelajarannya adalah untuk melakukan hal tertentu yang terstruktur dan terorganisir.
Kenapa seperti itu? Karena memang, kurikulum Industrial itu menyiapkan lulusannya menjadi seorang pekerja.
Bahkan, waktu kecil, saya kebayangnya kalau udah gede bakal jadi kasir di supermarket loh, suwer.
Ya ampun itu kalau inget jadi ngakak sendiri.
Oleh karena itu, dengan adanya kurikulum 2013 berbasis karakter, saya sungguh gembira. Pemikiran akan kognitif yang agung sudah mulai berkurang. Anak-anak lebih dibina karakternya selain kognitifnya. Walau pun tetep sih, di lapangan ada yang tetap mengagung-agungkan nilai ulangan, nilai ujian, nilai matematik, dsb.
Tetep ya, orang tuanya terbawa nuansa zaman dulu pas sekolah, dimana nilai kognitif dan rangking yang jadi acuan kecerdasan anak.
Galau Akan Masa Depan
Coba deh, siapa yang cita-cita masa kecil, gak sinkron sama kerjaan atau pun kondisi masa kini? Berapa banyak sih orang yang sukses meraih cita-cita masa kecilnya? Dan beneran happy dengan keadaannya sekarang?
Ya mungkin ada, tapi ga banyak. Trus kita termasuk yang mana?
Ada gak sih yang mikir, "kok tiba-tiba gue jadi guru ya? Tiba-tiba gue jadi PNS? Tiba-tiba gue jadi blogger?" Semuanya bak diluar rencana.
Tak Tahu Peran, Tak Punya Pilihan
Karena ketika kita gak tau siapa diri kita, apa peran kita, ujung-ujungnya kita gak punya pilihan, ketetapan hati, dan keputusan di masa depan.
Dosen saya dulu pernah nyeletuk, "Udah gak zaman tuh sekarang Ibu memasak di dapur, ayah berangkat ke kantor. Karena sekarang, ibu juga bisa berangkat ke Kantor dan Ayah bisa masak di dapur."
Iya sih, tapi kok saya dengernya gak enak ya waktu itu. Seakan-akan gak ada batasan lagi antara tanggung jawab laki-laki dan perempuan.
Baca Juga: Susahnya Menikah
Baca Juga: Susahnya Menikah
Karena pesan pendidikan yang blur tentang peran perempuan dan laki-laki ini, jujur aja, saya pun merasa jadi korban dan menjadi generasi yang kebingungan.
Gak punya pandangan, pemahaman, dan keputusan sejak kecil. Kehidupan dijalani dengan let it flow tanpa gambaran yang jelas tentang masa depan akan seperti apa, pekerjaan apa yang bisa dilakukan, peran apa yang harus saya "mainkan" semuanya tak terencana sejak di bangku sekolah dasar.
Padahal kita sekolah lama loh, TK 1 tahun, SD 6 tahun, SMP 3 tahun, SMA 3 tahun, Kuliah 4 tahun. 17 tahun yang sia-sia kalau sampai gak tau tujuan hidup sendiri *so sad
Peran Guru
Di sekolah, memang pelaksana kurikulum yang paling utama adalah guru. Tapi, dengan beban mata pelajaran yang begitu berat, apa masih bisa mengakomodir hal lainnya dengan segala keterbatasannya?
Guru Bimbingan Konseling
Memang sih, guru BK paling pas untuk jadi konselor atau orang tua yang mengarahkan anak didik diluar mata pelajaran, tapi kadang guru BK lebih identik dengan kasus anak, kedisiplinan, dll. Dan guru BK juga hanya ada di tingkatan sekolah menengah saja, padahal di tingkat sekolah dasar pun, fungsi dan peran perempuan dan laki-laki itu penting disampaikan.
Ini bisa jadi salah satu solusi, peran guru BK ini harusnya lebih diarahkan untuk memberikan gambaran peran dan tanggung jawab anak-anak di masa depan nanti, termasuk peran gendernya sebagai perempuan dan laki-laki. Perannya dalam membangun keluarga, masyarakat, membangun bangsa dan lainnya.
Bukan hanya soal profesi atau cita-cita sebagai seorang xxxxx, tapi berbagai peran yang akan disandang oleh manusia dewasa harus bisa dijelaskan oleh seorang guru BK di sekolah.
Ini bisa jadi salah satu solusi, peran guru BK ini harusnya lebih diarahkan untuk memberikan gambaran peran dan tanggung jawab anak-anak di masa depan nanti, termasuk peran gendernya sebagai perempuan dan laki-laki. Perannya dalam membangun keluarga, masyarakat, membangun bangsa dan lainnya.
Bukan hanya soal profesi atau cita-cita sebagai seorang xxxxx, tapi berbagai peran yang akan disandang oleh manusia dewasa harus bisa dijelaskan oleh seorang guru BK di sekolah.
Jangan Meremehkan Anak Usia Sekolah Dasar
Karena di usia ini lah anak-anak akan sering bertanya "eksistensinya" di dunia ini. Mulai dari "asalnya dari mana" "terbuat dari apa" "kenapa kita ada" dan bahkan anak-anak suka berimajinasi ingin jadi apa kelak dia ketika dewasa dengan cara belajar dari lingkungan sosial.
Mengenal Peran Gender Sejak Kecil, Meminimalisir Kegalauan di Masa Depan
Seperti yang sudah saya katakan di atas, kita menjadi generasi yang kebingungan karena kita kurang atau bahkan tidak paham tugas dan fungsi kita masing-masing.
Sebagai perempuan, sejak kecil kita tidak menerima pendidikan yang lengkap mengenai tugas dan peran perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Tidak semua keluarga mengerti bagaimana mengedukasi anak-anaknya akan perannya sebagai perempuan dan laki-laki.
Bersyukurlah kalau kamu dilahirkan dari keluarga yang memang mengerti dan paham cara mengarahkan anak. Sehingga, ketika dewasa, anak sudah tidak kebingungan dan mantap mengambil peran di masyarakat.
Lah kalau ngga?
Agar Perempuan Tidak Berujung Pada Kegalauan
Pertama, mental perempuan akan lebih siap. Karena sudah ada gambaran akan masa depan. Jika bekerja akan lebih siap mempersiapkan mental, diri, kompetensi, dan pengetahuan tentang seluk beluk ibu bekerja.
Kedua, begitupun dengan Ibu rumah tangga. Memilih jadi ibu rumah tangga karena pilihan dan kesiapan mental, bukan hanya nasib semata. Dan sudah tau, apa yang akan dilakukan jika saya tidak bekerja di kantor. Menjadi seorang wirausahawan kah, menjadi seorang relawan di dunia pilantropi kah, atau menjadi pelayan masyarakat dengan aktif di komunitas.
Baca juga: 5 Inspirasi Wirausaha Bagi Muslimah dari Brand Tas Heejou
Baca juga: 5 Inspirasi Wirausaha Bagi Muslimah dari Brand Tas Heejou
Coba deh bayangin, jika pendidikan kita sudah berpikir sejauh ini. Khususnya bagi perempuan, maka hidupnya akan lebih bahagia dan jauh dari kegalauan, antara bekerja atau tidak.
Karena semuanya sudah dipersiapkan sejak kecil, mentalnya disiapkan, diberikan informasi yang lengkap tentang kemungkinan atau resiko dari pilihan yang akan diputuskan. Perempuan pun gak akan saling "serang", saling menjatuhkan karena alasan pilihan hidup.
Ibu bekerja bahagia dan mantap dengan keputusannya, ibu di rumah pun bergembira karena ini merupakan gambaran kehidupan idealnya sejak kecil.
Gak galau dan gak merasa salah dalam ambil keputusan.
"Karena ibu yang bahagia itu adalah koentji untuk melahirkan generasi yang bahagia, dan semuanya sudah dipersiapkan dengan baik bahkan semenjak sang ibu masih belajar mengeja namanya sendiri."
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi berdasarkan pengalaman dan pengamatan, dan tidak menerima perdebatan dalam bentuk apapun. Terima kasih :D
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi berdasarkan pengalaman dan pengamatan, dan tidak menerima perdebatan dalam bentuk apapun. Terima kasih :D