Underestimate atau dengan kata lain menganggap seseorang lemah, remeh, kecil, tidak mampu.
Para hakim sosial baik di dunia nyata maupun dunia maya sudah berhasil membuat saya underestimate terhadap diri saya sendiri beberapa tahun ini.
Tepatnya saat saya membesarkan anak, mengasuhnya, dan mendidiknya sejak dia lahir.
Saya memandang diri saya 'gagal' 'not well prepared' 'tidak mengikuti kaidah psikologi dan parenting' 'abai terhadap psikologis dan pendidikan anak' dalam membesarkan dan mendidik anak-anak saya.
Why? Kenapa saya bilang seperti itu?
Ekspektasi Timeline
Sosial media bukan barang baru, setiap orang punya, bangun tidur pun yang disempatkan membuka timeline facebook, twitter, instagram.
Hampir seluruh aspek kehidupan kita berkorelasi dengan akun media sosial bukan?
Apa yang kita lihat, secara tidak sadar 'mengedukasi' 'mencitrakan' 'meminta' otak bawah sadar kita untuk meniru apa yang kita saksikan di timeline.
Orang lain berlibur ke luar negeri, langsung terbersit kapan ya bisa travelling kesana. Nabung ah nabung!
Orang lain S2 ke luar negeri, langsung searching kesempatan beasiswa via google.
Yayaya, betapa mudah timeline mempengaruhi dan mengintimidasi perasaan dan perilaku kita sehari hari.
Pun hal yang sama soal parenting!
Buku Balita
Betapa saya merasa gagal ketika Kifah gak suka baca buku!
.
.
.
Karena beberapa teman di timeline mengaplod beberapa gambar buku balita lengkap dengan caption:
"Alhamdulillah ya, makanan sehari-hari baby XYZ buku selemari"
"Alhamdulillah, walau harganya mahal, yang penting investasi buat kecerdasan anak di masa depan."
DAN KARENA ANAK GUE GAK BACA BUKU BERARTI DIA KAGAK CERDAS.
.
.
.
.
.
.
Lagi, itu cuman cara berpikir sesaat saya ketika baca timeline. Cuma sesaat.
Permainan Edukatif
"Hari ini, kakak Fernando Jose belajar fisika atom dengan metode Z di rumah, cuman pake kardus bekas aja kok bund!"
#GigitKardusBekasKulkas
"Bikin percobaan kimia. Bikin pelangi pake sabun cuci piring dan susu cap naga, yeay! Belajar apapun bisa di rumah, asalkan kreatif ya bundanya. Yuk dicoba di rumah bunda ;D"
.
.
.
Dan abis baca itu pun saya langsung merasa bukan ibu yang kreatif dan pemalas.
Seketika inget ijazah sarjana Kurikulum dan Teknologi Pendidikan di lemari, saya yang harusnya khatam banget sama media pembelajaran edukatif, bikin permainan yang merangsang motorik kasar dan halus anak, keok sama timeline facebook.
Makanan Bergizi
"Hari ini makanan dede makan sayur dengan vitamin A,B,C,D,E,F,G,H,I,J,K. Lengkap dengan dessert puding coklat belgia kesukaannya, yummie!"
#PostingFotoFlatLay di IG
*Brb Manjat Menara Sutet
*Di rumah cuman masak sayur asem doang sama tempe goreng
....
Pernah merasa gini gak Mom?
Saya merasa DOWN banget soal parenting karena ngeliat hal semacam ini berkeliaran di timeline media sosial.
Merasa GAGAL, merasa UNDERESTIMATE sama diri sendiri. Orang lain kok bisa, aku kok nggak. Padahal waktu yang kita punya sama.
Bacain anak buku, bikin permainan edukatif, bikin masakan yang bergizi tinggi. Apa sayanya males atau gimana sih?
Kumpulan "sesaat demi sesaat" perasaan yang saya liat di timeline media sosial itu numpuk jadi satu dan kemudian mengerdilkan kemampuan diri.
Kalau kata orang Sunda mah, "Cikaracak ninggang batu, laun-laun jadi legok"
Artinya tetesan air pun makin lama kalau sering mah bisa bikin batu jadi bolong.
Kalau kata orang Sunda mah, "Cikaracak ninggang batu, laun-laun jadi legok"
Artinya tetesan air pun makin lama kalau sering mah bisa bikin batu jadi bolong.
.
.
.
TRUS LOE NYALAHIN ORANG YANG UPLOAD STATUS ATAU FOTO?
.
.
.
Ya nggak lah.
Ini soal saya menilai diri sendiri yang terlalu underestimate, gak percaya diri, merasa serba salah, merasa gak layak, merasa salah metode, merasa gak jadi orang tua yang baik.
Walaupun memang pemicunya adalah media sosial.
Ini kembali ke diri saya, kenapa bisa semudah itu merasa gagal dan tidak percaya diri.
Dan, itu berjalan beberapa tahun belakangan. And Yes! I feel tired.
.....
Bergulat dengan perasaan seperti itu memang sangat melelahkan ya Moms! Do you feel the same?
Sadar
Saya merasa terlalu berlebihan menilai diri saya sendiri sejauh ini.
Perfectionis! Mudah dipengaruhi!
Dan ujung-ujungnya marah dan kecewa dengan diri sendiri. Beuuhh.
*tepuk pipi kanan kiri*
Ingat Prestasi
Saya terlalu fokus sama kekurangan, lupa sama prestasi yang sudah saya raih sejauh ini.
Pencapaian apa yang sudah Kifah raih? Apa yang paling saya suka dari Kifah? Apa yang membuat saya bangga sama Kifah? Karakter baik apa yang saya sudah bisa saya tanamkan ke Kifah?
Kenapa saya lupa? Kenapa gak saya kalkulasi?
And you know what?
Setelah Kifah mulai bisa membaca, menulis huruf, berhitung sampai seratus, baca do'a makan, do'a masuk kamar mandi, do'a mau tidur, sholat lima waktu walau masih bolong, saya mulai sadar kalau ternyata saya terlalu underestimate sama diri sendiri.
Setelah Kifah berubah jadi anak penurut, Kifah bisa membedakan mana baik dan buruk, saya jadi lebih menghargai diri.
Hey, kamu sudah berhasil sampai ke titik ini loh!
Hey, kamu sudah berhasil sampai ke titik ini loh!
Bukan lebay, tapi ternyata penghargaan terhadap diri sendiri membuat saya berangsur mengikis kata underestimate dari otak bawah sadar.
"Ternyata anak saya udah bisa ini loh"
"Ternyata dia berbakat di bidang ini loh"
"Ternyata dia bisa sabar"
"Ternyata dia selalu buang sampah pada tempatnya"
"Ternyata dia bangun Shubuh, kemudian Sholat dua rakaat"
Prestasi dan "keajaiban" yang ditunjukkan oleh anak, lama kelamaan mampu mengikis rasa underestimate atau tidak percaya diri yang sudah numpuk dan mengendap secara tidak disadari.
Dulu saya selalu beranggapan, orang tua lain hebat, bisa melakukan banyak hal untuk anaknya. Sebaliknya saya tidak.
Sekarang perlahan mind set itu saya ubah.
Orang tua lain bisa melakukan hal A pada anaknya, sedangkan saya mampu melakukan hal Z untuk anak saya. Karena kesukaan saya beda, kelebihan anak saya juga beda.
Tidak perlu melakukan hal yang sama dengan orang tua lain. Tidak perlu menjadi rendah diri kalau kita tidak bisa melakukan apa yang dilakukan orang tua lainnya.
Gak perlu baper kalau anak sendiri sukanya main sepeda dibanding main mainan edukatif di rumah.
Karena kondisi psikologis orang tua yang nyaman, lebih berarti ketimbang mengikuti seluruh "standar" orang lain dan membuat jantung ngos-ngosan.
Lebih Santai
Setelah berpikir mendalam ala ala filsafat itu lah saya sekarang berpikir cenderung lebih santai. Idealisme luntur gak jadi soal, yang penting saya bahagia di berbagai macam keadaan.
Anak lain hobi baca buku, anak saya hobi lari di lapangan, udah bukan lagi perkara yang bikin baper. Saya tidak perlu merasa gagal lagi dan underestimate atas diri sendiri.
Dengan keterbatasan saya sebagai orang tua, saya hanya perlu menerima "kode" yang diberikan oleh anak-anak saya kelak.
Timeline media sosial dengan segala dampak yang ditimbulkannya biarlah jadi inspirasi dan motivasi tersendiri.
Sekarang saya harus merdeka, tidak perlu meremehkan diri sendiri, menganggap gagal, malas, dan label negatif lainnya.
Fokus terhadap apa yang sudah saya capai, memaksimalkan ikhtiar lebih penting ketimbang baper sama diri sendiri.
"Ternyata anak saya udah bisa ini loh"
"Ternyata dia berbakat di bidang ini loh"
"Ternyata dia bisa sabar"
"Ternyata dia selalu buang sampah pada tempatnya"
"Ternyata dia bangun Shubuh, kemudian Sholat dua rakaat"
Prestasi dan "keajaiban" yang ditunjukkan oleh anak, lama kelamaan mampu mengikis rasa underestimate atau tidak percaya diri yang sudah numpuk dan mengendap secara tidak disadari.
Dulu saya selalu beranggapan, orang tua lain hebat, bisa melakukan banyak hal untuk anaknya. Sebaliknya saya tidak.
Sekarang perlahan mind set itu saya ubah.
Orang tua lain bisa melakukan hal A pada anaknya, sedangkan saya mampu melakukan hal Z untuk anak saya. Karena kesukaan saya beda, kelebihan anak saya juga beda.
Tidak perlu melakukan hal yang sama dengan orang tua lain. Tidak perlu menjadi rendah diri kalau kita tidak bisa melakukan apa yang dilakukan orang tua lainnya.
Gak perlu baper kalau anak sendiri sukanya main sepeda dibanding main mainan edukatif di rumah.
Karena kondisi psikologis orang tua yang nyaman, lebih berarti ketimbang mengikuti seluruh "standar" orang lain dan membuat jantung ngos-ngosan.
Lebih Santai
Setelah berpikir mendalam ala ala filsafat itu lah saya sekarang berpikir cenderung lebih santai. Idealisme luntur gak jadi soal, yang penting saya bahagia di berbagai macam keadaan.
Anak lain hobi baca buku, anak saya hobi lari di lapangan, udah bukan lagi perkara yang bikin baper. Saya tidak perlu merasa gagal lagi dan underestimate atas diri sendiri.
Dengan keterbatasan saya sebagai orang tua, saya hanya perlu menerima "kode" yang diberikan oleh anak-anak saya kelak.
Timeline media sosial dengan segala dampak yang ditimbulkannya biarlah jadi inspirasi dan motivasi tersendiri.
Sekarang saya harus merdeka, tidak perlu meremehkan diri sendiri, menganggap gagal, malas, dan label negatif lainnya.
Fokus terhadap apa yang sudah saya capai, memaksimalkan ikhtiar lebih penting ketimbang baper sama diri sendiri.
.....
Bagaimana perasaan Moms selama ini?
Apakah pernah merasa underestimate juga?